Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Kasus dr. Ayu Cs: Malpraktik atau Kriminal Murni?

28 November 2013   12:11 Diperbarui: 4 April 2017   16:24 10836 10
Kalangan dokter cenderung tak mempermasalahkan proses hukum terhadap tindak pidana atau perbuatan kriminal murni yang dilakukan teman sejawatnya, misalnya melakukan aborsi tanpa indikasi medis, korupsi, eutanasia, dll. Sebaliknya, mereka bereaksi keras terhadap proses hukum malpraktik seperti dalam kasus dr. Ayu Cs. Seolah malpraktik tidak berdimensi pidana dan tak boleh disentuh hukum.

Secara yuridis dan teoritis, ada persamaan dan perbedaan malpraktik medis dan perbuatan kriminal murni. Tidak setiap malpraktik medis berdimensi pidana. Contoh, dokter yang memberikan obat tanpa terlebih dahulu melakukan pemeriksaan merupakan bentuk malpraktik medik karena tak sesuai dengan standar profesi medik, akan tetapi tidak (belum) berdimensi pidana.

Contoh lain, sebagai prebandingan, seorang advokat yang menemui hakim tanpa kehadiran pihak lawan, merupakan bentuk malpraktik. Akan tetapi tidak berdimensi pidana atau bukan merupakan perbuatan kriminal, kecuali terbukti sebaliknya---ada suap, pemerasan, dll.

Ancaman sanksi bagi perbuatan kriminal murni dalam profesi dokter adalah penjara dan denda. Sementara ancaman sanksi bagi malpraktik medis murni (tanpa unsur pidana) adalah tindakan disiplin atau sanksi kode etik.

Pada dokter yang melakukan aborsi tanpa indikasi medis dianggap melakukan perbuatan kriminal murni sekaligus malpraktik medis. Dikatakan melakukan kriminal murni karena perbuatan demikian telah memenuhi unsur-unsur pidana dalam undang-undang dengan sanksi pidana bagi pelakunya. Bersamaan pelakunya melanggar kode etik.

Ruang lingkup malpraktik

Bisa terjadi, prestasi yang menjadi kewajiban tenaga kesehatan kepada seseorang penerima jasa pelayanan kesehatan tidak terlaksana sesuai yang diperjanjikan, sehingga tenaga kesehatan tersebut dikatakan telah ingkar janji (wanprestasi). Atau, tenaga kesehatan telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam melaksanakan tugasnya. Wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dalam suatu pelayanan kesehatan merupakan bentuk kesalahan atau kelalaian profesi.

Menurut doktrin hukum kesehatan (health law), padanan kata untuk istilah kesalahan atau kelalaian profesi adalah malpraktik (biasa disebut juga "malapraktik"), yang berasal dari istilah bahasa Inggris malpractice. Sayangnya, dalam undang-undang dan di antara para ahli (termasuk penyusun kamus), belum ada keseragaman dalam mendefinisikan istilah malpraktik tersebut.

Dari sekian definisi malpraktik, J. Guwandi (1991: 28) menyimpulkan bahwa terdapat malpraktik bila (1) ada tindakan atau sikap dokter yang bertentangan dengan etik dan moral; bertentangan dengan hukum; bertentangan dengan standar profesi medik (SPM); dan kurang pengetahuan atau ketinggalan ilmu pada bidangnya yang  berlaku umum; dan (2) adanya kelalaian, kurang hati-hati atau kesalahan.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa apa yang disebut malpraktik (malpractice) lebih mengacu kepada malpraktik yang dilakukan oleh tenaga medik (dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis). Karena itu, istilah malpraktik dikenal pula dengan istilah malpraktik-medik (medical malpractice).

Sementara itu, istilah 'kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan' sebagaimana dimaksud oleh Pasal 58 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UUK) sebenarnya mempunyai cakupan yang lebih luas, tidak hanya bagi tenaga medik, tetapi semua tenaga kesehatan-yang di dalamnya tercakup juga tenaga medik.

Hermien Hadiati Koeswadji (1998: 149-150) menyimpulkan, bahwa kesalahan atau kelalaian profesi dapat terjadi bila tidak dipenuhinya syarat-syarat untuk melaksanakan profesi sesuai standar yang berlaku, yaitu sesuai dengan rata-rata praktik dokter yang memiliki kemampuan yang sama dalam kondisi yang sama.

Hermien condong mempadankan istilah kesalahan atau kelalaian profesi dengan istilah maltreatment daripada dengan malpractice. Kesimpulan demikian ia peroleh dengan menghubungkan istilah malpractice dengan Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (1) UU Kesehatan yang lama (UU No 23 Tahun 1992), dimana malpractice lebih ke arah subjek tenaga kesehatan dan sarana kesehatan, sedangkan istilah maltreatment mengandung makna terlibatnya 2 (dua) pihak, yaitu disatu pihak subjek yang melaksankan treatment (tenaga medik), dan di lain pihak terdapat objek/subjek yang menjadi sasaran treatment (pasien).

Menurut Ahmad Djojosugito (Republika, 6/3/20012), malpraktik disebabkan oleh banyak faktor, antara lain keterampilan klinis para medis dan dokter, penguasaan terhadap pengetahuan terkini, kewaspadaan klinis, tingkat kepedulian terhadap mutu klinik, dan sistem pengelolaan berikut prosedur penanganan medis secara terpadu pada pasien. Tidak hanya dokter yang mengambil peran, tapi juga tenaga pelayanan kesehatan lainnya seperti perawat dan bidan.

Dalam melaksanakan tugasnya, dokter dan dokter gigi wajib memenuhi apa yang disebut Kode Etik, Standar Profesi, Hak Pasien, Standar Pelayanan, dan Standar Prosedur Operasional. Dalam hubungan ini, Standar Profesi diatur oleh organisasi profesi, sedangkan Standar Pelayanan dan Standar Prosedur Operasional diatur oleh Menteri Kesehatan. Demikian ditegaskan Pasal 24 UUK dan Pasal 44 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU PK).

Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien seperti dokter dan perawat, dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien. SementaraYang dimaksud hak pasien antara lain ialah hak atas informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran, hak atas pendapat kedua (second opinion), dll.

Berdasarkan uraian di atas, paramter untuk menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian (malpraktik) dalam prespektif profesi adalah Standar Profesi. Dalam cakupan yang lebih luas, parameter malpraktik tenaga kesehatan adalah Kode Etik, Standar Profesi, Standar Pelayanan, Standar Prosedur Operasional, dan undang-undang terkait.

Leenen dan van der Mijn, dua pakar hukum kesehatan dari Belanda, memberikan pendapat mengenai Standar Profesi Medik (Wila Candrawila, 1991: 52). Menurut Leenen:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun