Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Film CTB, Minangkabau, dan Wahabisme

9 Januari 2013   04:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:21 907 5
Penolakan keras sebagian orang Minang terhadap film Cinta Tapi Beda karya Hanung Bramantyo tidaklah berdiri sendiri di ruang hampa. Ini diduga kuat ada kaitannya dengan faham keagamaan yang mendominasi orang Minang pasca Perang Padri (1803-1838), perang antara kaum Padri melawan kaum Adat yang dimenangkan oleh kaum Padri, yakni faham Wahabisme.

Kaum Padri adalah kaum agama yang kental dengan faham Wahabisme yang dibawa oleh tiga orang haji dari Mekkah sekitar tahun 1803: Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang.

Dengan kata lain, pasca perang Padri hingga saat ini, Minangkabau memang dalam cengkraman Wahabisme, atau setidaknya Neo-Wahabisme yang lebih moderat sebagaimana direpresentasikan oleh Ormas Muhammadiyah, NU, dan ajaran Ikhwanul Muslimin yang diadopsi oleh aktivis parpol Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Selanjutnya, mengenai kategori, kilas sejarah Wahabi secara umum, nama-nama ulama Wahabi, dan lembaga/yayasan/pesantren Wahabi, antara lain dapat di lihat di sumber ini.

Penolakan terhadap warna perbedaan agama khususnya di internal (sekomunitas Minangkabau) merupakan salah satu ciri ekspresi partikular dari faham puritan Wahabisme. Faham ini menyenangi ekslusifitas, keseragamaan, atau persamaan terkait agama. Dan menolak keras warna perbedaan, khususnya perbedaan di internal sendiri. Hal mana tidak terjadi ketika faham Wahabisme belum masuk ranah Minang.

Sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke ranah Minang sekitar abad ke-7 M. Sebelum masuknya Islam, Minangkabau sebagai wilayah hukum adat, sudah eksis. Nenek Moyang orang Minang beragama Hindu bahkan Animisme. Kemudian datanglah siar Islam ke ranah Minang pada abad itu. Islam pun tersebar ke seantero wilayah kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Namun Islam yang dipeluk oleh orang Minang pada waktu itu umumnya masih tergolong sebagai "Islam Abangan", mengutip Clifford Geertz dalam bukunya The Religon of Java yang monomental itu. Di ranah Minang "Islam Abangan", waktu itu, dikenal dengan istilah "Kaum Adat".

Kehidupan beragama (Islam) di Minangkabau periode awal tersebut masih diwarnai praktik-praktik menyimpang dari ajaran Islam, seperti kebiasaan judi, sabung ayam, madat, sirih, tembakau, pranata hukum adat matriakat, dan longgarnya pelaksanaan syariat Islam. Keadaan ini yang didapati oleh Tiga Haji sepulangya dari tanah Mekkah.

Rupanya, faham Wahabisme Tiga Haji ini menyebar dengan cepat di Minangkabau. Tercatat kemudian diikuti oleh Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Pasaman, Tuanku Tambusai, Tuanku Rao, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun---kesemuanya menjadi pimpinan kaum Padri dengan julukan "Harimau Nan Salapan".

Harimau Nan Salapan kemudian mengutus Tuanku Lintau---orang Tanah Datar, pusat kerajaan Pagaruyung berada---untuk menemui Raja Pagaruyung Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat. Tuanku Lintau meminta Raja dan Kaum Adat meninggalkan kebiasaan yang bertentangan dengan syariat Islam. Namun perundingan menemui jalan buntu.

Singkat cerita, Tuanku Pasaman pertama kali melakukan serangan ke Kerajaan Pagaruyung. Raja dan Kaum Adat terdesak. Entah bagaimana detail ceritanya, Raja kemudian meminta bantuan pada balatentara Hindia Belanda. Lalu terjadilah perang besar antara Kaum Padri melawan Kaum Adat dengan sokongan Belanda. Seiring waktu kaum Adat Menyadari kekeliruannya melibatkan Belanda dan malah berbalik menyerang Belanda. Jadilah Perang Padri terdiri dari dua peristiwa yang berbeda: (i) perang antara Kaum Padri melawan Kaum Adat dan (ii) perang Kaum Padri + Kaum Adat melawan Belanda.

Perang Padri berakhir tahun 1838 seiring tertangkapnya satu persatu pimpinan Kaum Padri, yakni Harimau Nan Selapan, termasuk Tuanku Imam Bonjol yang paling menonjol. Di sini menariknya. Kaum Padri menang melawan Kaum Adat, tapi Kaum Padri kalah melawan Belanda.

Prasasti kemenangan Kaum Padri tertulis dalam apa yang disebut "Palakat Puncak Pato", Bukit Marapalam, Tanah Datar. Dalam Plakat inilah tercantum adagium adat yang sangat terkenal di Minangkabau, yakni "adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah" (ABS-SBK) (adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah---ini terjemahan bebas, karena sandi sebenarnya tidak persis sama dengan sendi (bahasa Indonesia). Sandi semacam pengganjal di bawah sebuah tiang rumah, suatu benda/batu/kayu yang menopang di bawah tiang sehingga tiang bisa berdiri kokoh menegakkan rumah.

Adagium ABS-SBK dilanjutkan dengan adagium adat lainnya: "Syarak mangato, adaik mamakai" (syarak berkata, adat memakai). Syarak di sini adalah hukum syariat Islam yang bersumber dalam Alquran dan Hadist/sunnah Muhammad SAW.

Sejak "Plakat Puncak Pato" inilah rezim hukum adat Minangkabau bersifat ekslusif, khususnya terkait agama Islam di wilayah hukum adat Minangkabau. Bahwa orang Minang harus beragama Islam. Jika murtad dari Islam maka akan dikenai sanksi 'dibuang sepanjang adat': tidak diakui lagi sebagai orang Minang, hak dan kewajiban adat Minang akan dianggap hilang.

Hanya satu hal saja yang tidak berhasil dibabat habis oleh faham Wahabisme Kaum Padri, yakni mengubah sistem kekerabatan dan waris secara Matriakat menjadi Patriakat, sebagaimana diyakini Kaum Padri. Dimana hingga saat ini Minangkabau masih menganut sistem Matriakat, garis keturunan berasal dari jalur perempuan (ibu) dan hak waris terhadap harta pusako jatuh pada perempuan---kaum lelaki sifatnya hanya bisa mengurus/mengelola harta pusako saja, bukan memiliki.

Terlihat, konsep ABS-SBK dan sistem kekerabatan Matrilineal merupakan hasil pergulatan Kaum Adat, Kaum Padri, dan masyarakat Minang umumnya. Pergulatan ini menghasilkan apa yang disebut "kearifan lokal". Kearifan untuk membentengi diri dari pengaruh luar.

Konsep ABS-SBK berikut dalil penjabarannya, seperti dalil bahwa Minang identik dengan Islam, lebih ke kearifan lokal yang bersifat politis yang "cukup cerdas". Sekalipun tidak berpijak sepenuhnya pada realitas. Pasalnya, secara antropologis, etnisitas dan kesukuan, dalam pengertian genekologis atau bukan wilayah hukum adat, bukan merupakan organisasi keagamaaan, melainkan "organisasi" yang dibangun berdasarkan kesamaan genekologis. Namun demi menangkal daya serang pengaruh agama selain Islam, maka dibuatlah konsep demikian.

Konsep ABS-SBK berperan penting untuk menangkal peralihan agama bagi anak-kemenakan di Minangkabau dan perantau Minang lainnya. Sementara, sistem kekerabatan Matrilineal bermanfaat untuk menjaga asset sako dan pusako tidak jatuh ke tangan orang luar, orang diluar Minangkabau, sekalian melindungi kaum perempuan. Keduanya lahir dari pergulatan waktu dan benturan dengan masalah yang riil pada zamannya sehingga melahirkan kearifan lokal demikian.

Jika kekerabatan matrilineal merupakan pranata hukum adat yang diciptakan untuk menghadapi gempuran pengaruh kerajaan Samudra Pasai (di Utara) dan Sriwijaya dan Majapahit (di Selatan), sehingga eksistensi tanah di Minangkabau tetap terjaga secara hukum; sebaliknya, konsep ABS-SBK diciptakan untuk menghadapi gempuran kerusakan agama dari Kaum Adat dan peralihan agama (murtad) anak kemenakan. Suatu kearifan lokal yang politis nan cerdik.

Dengan demikian, konsep ABS-SBK dan kekerabatan Matrilineal masih terus berproses diuji menghadapi tantangan zaman. Yang merasa terkungkung dengan konsep adat ini biasa keluar dari kampungnya, pergi merantau. Merantau tidak sekedar untuk mengubah nasib, namun juga pergi meninggalkan segala hal yang dianggap membelenggu.

Selain itu, di perkotaan sistem hukum adat sudah semakin longgar. Kekerabatan matrilineal, contohnya, sudah lebih mengarah ke parental (garis kekerabatan ibu-bapak sekaligus). Begitu juga dengan waris, sudah didominasi waris secara Islam, tidak lagi melulu harta warisan jatuh ke tangan perempuan. Dalam hukum adat, untuk pusaka tinggi maka warisnya jatuh ke garis perempuan, sedangkan pusaka rendah atau harta pencarian orang tua dapat diwariskan ke anak-anak (lekaki atau perempuan).

Seiring perjalanan waktu Minangkabau berkembang cukup pesat. Tokoh-tokoh Minang tercatat sebagai politisi, diplomat ulung, dan pedagang yang pandai. Secara umum, kehidupan beragama di Minangkabau saat ini cukup damai dan kondusif, kecuali beberapa riak konflik yang kecil, seperti pelarangan pemasangan plang nama Masjid Mubarak Ahmadiyah di bilangan Jalan M Yamin, Padang, (namun sekarang plang itu sudah dipasang kembali), dan insiden perusakan gedung beratab kubah di bilangan jalan Raden Saleh, Padang.

Akhir kata, kedamaian merupakan resultan dari kemampuan pihak luar menghormati kearifan lokal suatu daerah, dan kemampuan internal suatu komunitas bereaksi secara dewasa dan rasional terhadap perbedaan di sekelilingnya.

(SP)

Sumber:

http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Sumatera_Barat

http://mhdrivaisyafputra.blogspot.com/2012/10/masuknya-islam-di-minangkabau.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Wahabi

http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Padr

http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/wahabi-dan-paderi-pembaharuan-dalam.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Adityawarman

http://id.wikipedia.org/wiki/Minangkaba

http://id.wikipedia.org/wiki/Harimau_Nan_Salapan

http://www.alkhoirot.net/2011/12/nama-ulama-wahabi-salafi.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Cinta_Tapi_Beda

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun