Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Pendekatan "Restorative Justice" Kasus Lakalantas

2 Januari 2013   04:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:39 2482 7
Dikutip dari wikipedia di sini, restorative justice atau keadilan restoratif adalah pendekatan untuk keadilan yang berfokus pada korban dan pelaku, serta masyarakat yang terlibat, bukannya berfokus pada prinsip-prinsip hukum abstrak atau menghukum pelaku. Singkatnya, pendekatan restorative justice lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan yang berimbang bagi korban dan pelaku tindak pidana secara sekaligus.

Kita ambil studi kasus lakalantas Rasyid Amrullah Rajasa (RA) yang menelan korban tewas dua orang atas nama Harun (57) dan Raihan (1,4) serta korban-korban luka-luka lainnya, di ruas dua tol Jagorawi ke arah Bogor, Selasa (1/1/2012) pukul 06.00 Wib.

Jika sistem hukum yang dijalankan kepolisian hanya berfokus pada menghukum RA tanpa mempedulikan terpenuhinya rasa keadilan korban, dan tidak mengupayakan pelaku dan keluarga pelaku supaya bertanggung jawab pada kerugian materil dan moril yang diderita korban dan keluarganya, artinya, pendekatan restorative justice tidak dilakukan.

Lakalantas pada dasarnya adalah "kecelakaan" (musibah). Tidak ada orang normal yang berniat membunuh pemakai jalan lain dengan sengaja, misalnya, sengaja menabrakkan kendaraannya agar pemakai jalan lain tewas. Pada kasus yang sengaja menabrakan mobilnya pada pengguna jalan raya, tidak disebut sebagai kecelakaan lalu lintas, melainkan pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan direncanakan. Pasalnya berlainan.

Tanpa pendekatan restorative justice, mestinya hanya ada satu pihak korban, yakni para korban yang kena tabrak, namun yang terjadi de facto korbannya hakikatnya dua pihak. Pelaku pada hakikatnya jadi "korban" juga. Bukan saja karena pelaku tidak sengaja menabrak, melainkan juga oleh sebab pidana yang diterimanya, dan kemudian berentet pada "korban-korban" lainnya dari keluarga si pelaku akibat dijatuhinya pidana pelaku.

Nah, apa yang didapat dengan berorientasi menghukum pelaku? Tidak ada. Kecuali hanya penjeraan dan pertakut bagi publik supaya hati-hati dalam berkendara. Korban tidak dapat apa-apa dari dijebloskannya pelaku lakalantas ke penjara. Dalam konteks inilah pentingnya pendekatan restorative justice.

Dengan pendekatan restorative justice, baik pelaku maupun korban sama-sama aktif. Korban mengambil peran aktif dalam proses. Sementara pelaku didorong untuk mengambil tanggung jawab atas tindakannya, untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya, antara lain dengan meminta maaf, mengganti kerugian materil yang ditimbulkan, membantu biaya pemakaman, dll.

Dalam kaitan ini apa yang dilakukan oleh Hatta Rajasa selaku orang tua pelaku (RA) sudah tepat. Hatta segera meminta maaf melalui konferensi pers, segera mendatangi keluarga korban, meminta maaf langsung, menjanjikan membantu biaya pemakaman, dan biaya pendidikan anak-anak korban. Tindakan keluarga pelaku ini patut diapresiasi positif.

Supaya jadi restorative justice benaran maka keluarga korban pun mesti membuka diri pada tawaran dan niat baik dari pihak keluarga pelaku. Jadi, klop. Tidak bisa hanya satu pihak saja yang aktif. Kedua belah pihak harus sama aktifnya. Dan keaktifan kedua belah pihak ini mestilah tulus ikhlas dengan niat merekatkan kembali keharmonisan yang terkoyak dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana.

Tidak bisa, misalnya, keluarga korban membuka diri tapi menuntut tanggung jawab yang tidak wajar. Seperti menuntut ganti rugi demikian besar yang tidak masuk akal atau diluar batas kewajaran yang rasional. Dalam keadaan ini tuntutan keluarga korban bisa dikualifisir sebagai pemerasan.

Kedua belah pihak (pelaku dan korban) mesti sama-sama aktif membuka diri, berkomunikasi, bermusyawarah dan/atau bermediasi untuk tercapainya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana. Itulah restorative justice.

(SP)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun