Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mengabaikan Fatwa MUI tentang Selamat Natal

20 Desember 2012   16:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:17 1247 8
Era Buya Hamka (1908-1981) waktu beliau memimpin Majelis Ulama Indonesia (1977-1981) adalah titik terpanas seputar polemik umat Islam yang mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Waktu itu MUI mefatwakan dengan tegas sebagai haram mengikuti perayaan dan kegiatan natal, namun tidak disoal ucapan selamat Natal.

Buya Hamka tetap kukuh dengan fatwanya. Tak sungkan-sungka Buya Hamka mempertaruhkan jabatannya demi konsistensi terhadap fatwanya itu. Belakangan fatwa demikian cenderung dipertahankan oleh MUI hingga hari ini dan menyarankan tidak usah mengucapkan selamat Natal. Dalam pada itu tidak sedikit ulama lain yang tidak mempersoalkan ucapan selamat Natal.

Bagaimana kita sebaiknya menyikapi fatwa MUI terkait ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani? Saya tidak akan berpolemik terkait kaidah fiqihnya, karena bukan bidang garapan saya. Saya hanya berpendapat secara sosial dan hukum, bahwa fatwa ulama di MUI yang haramkan ucapkan selamat Natal demikian sebaiknya diabaikan saja.

Diantara dua kutub pendapat ulama yang mengharamkan dan membolehkan pengucapan selamat Natal, umat tinggal pilih saja. Dua pilihan tersedia. Namun mengabaikannya lebih masuk akal.

Menaati fatwa MUI demikian, pun tak jadi soal bagi pribadi masing-masing. Namun, dengan yakin saya pribadi mengabaikan fatwa MUI demikian sejak dulu. Fatwa MUI hanyalah pendapat/opini yang tidak mengikat secara hukum publik, boleh diikuti atau sebaliknya ditolak, apalagi kredibilitas ulama di MUI sekarang patut dipertanyakan: mulai dari kasus Sampang, pernikahan siri Aceng Fikri, dsb.

"Selamat Natal dan Tahun Baru kepada umat Kristiani di mana pun berada. Semoga damai Natal memberikan inspirasi bagi perbaikan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik: lebih aman, lebih sejahtera, dan lebih rukun."

(SP)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun