Yang jadi soal sejak periode kedua kepemimpinan KPK adalah di fungsi penindakan. Karena KPK nampak "ganas" menangkapi koruptor dari institusi politik (eksekutif dan legislatif) dan institusi penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan), maka, terlihat ada gerakan yang tersistematis dan terstruktur untuk menumpulkan fungsi penindakan KPK. Penarikan penyidik KPK dari unsur kepolisian oleh Mabes Polri adalah salah satu contohnya.
Walaupun penarikan itu dikesankan sebagai hal rutin saat masa tugas penyidik sudah berakhir, akan tetapi persepsi publik cenderung menilai aksi penarikan penyidik tersebut sebagai "serangan balik" kepada KPK, hal mana menyusul penetapan petinggi kepolisian sebagai tersangka dalam kasus Simulator Mengemudi di Korlantas Mabes Polri. Apalagi, penarikan tersebut bertepatan dengan KPK yang sedang menangani beberapa kasus besar lainnya seperti kasus Century, Hambalang, dan suap dalam pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia.
KPK sebaiknya memang tidak menjalankan komunikasi (komunikasi politik?) pada publik dengan mengesankan diri sebagai korban yang sedang dilemahkan oleh kepolisian. Dengan catatan jika penarikan penyidik oleh Mabes Polri tersebut segera diganti penyidik baru. Berapa penyidik kepolisian yang ditarik dan berapa penyidik yang dimasukan ke KPK jumlahnya sama.
Sebab, penyidik kepolisian pengganti yang ditarik di KPK adalah para penyidik profesional. Bukan penyidik baru belajar. Sehingga ketika penyidik baru ini duduk di KPK ia dapat langsung bekerja tanpa perlu belajar lagi. Paling-paling tinggal membaca dan mempelajari berkas-berkas perkara yang ditinggalkan oleh penyidik lama dan kemudian langsung melanjutkan pekerjaan penyidik lama. Selebihnya penyidik baru tinggal beradaptasi dengan kultur dan etika kerja di internal KPK.
Selama ini dikomunikasikan oleh KPK, bahwa penarikan penyidik itu telah menganggu kinerja KPK. Padahal, faktanya, kasus-kasus di KPK tetap jalan sebagaimana seharusnya. Penetapan-penetapan tersangka baru dan diikuti penahanan tetap berjalan seperti biasa. Terakhir bahkan Irjen Djoko Susilo telah dilakukan penahanan oleh KPK.
Berdasarkan uraian di atas terlihat gambaran bahwa kalaupun fungsi penindakan KPK mengalami gangguan pasca penarikan penyidik oleh kepolisian yang diikuti dimasukkannya penyidik baru ke KPK, maka kadar ketergangguan fungsi penindakan tersebut, saya prediksi tidak terlalu signifikan.
KPK relatif baik-baik saja. Baik fungsi pencegahan maupun fungsi penindakan.
Fungsi penindakan KPK akan terganggu kinerjanya apabila, pertama, penyidik yang ditarik oleh kepolisian tidak diganti dengan penyidik baru. Kedua, Komisioner KPK berhalangan tugas dengan berbagai sebab, seperti meninggal dunia, ditahan oleh penegak hukum lain (seperti kasus Komisioner KPK periode kedua), dan sebagainya. Pasalnya, pengambilan keputusan penting di KPK dilakukan secara kolegial oleh para Komisioner KPK.
Saat ini memang fungsi penindakan KPK paling mencolok kinerjanya. Hal ini tidak terlepas dari tingginya korupsi kelas kakap di Indonesia. Sekaligus juga berkat kinerja unsur penindakan di KPK yang berjalan cukup baik.
Akan tetapi KPK tidak selayaknya berpuas diri dengan fungsi penindakan saja. KPK juga harus terus meningkatkan kinerja fungsi pencegahan tindak pidana korupsi, melakukan berbagai inovasi baru, termasuk kerjasama dengan berbagai institusi sipil di daerah-daerah. Sebagai perbandingan bagus adalah kerjasama yang dilakukan Komisi Yudisial dengan LSM seperti Lembaga Bantuan Hukum di seluruh Indonesia untuk memantau kinerja hakim.
Menyeimbangkan kinerja fungsi penindakan dan pencegahan merupakan tantangan KPK saat ini dan masa mendatang. Itupun kalalu KPK masih terus eksis, tidak dibubarkan oleh keputusan politik di DPR RI. Semoga.
(SP)