Bagaimana kalau Foke menang? Toh berbagai survei sebelum Pilkada Jakarta Putaran II memposisikan kedua pasangan calon dalam rentang margin error. Artinya, kedua pasangan memiliki peluang menang yang sama besar, termasuk bisa saja Foke-Nara yang menang.
Jika Foke-Nara kalah artinya sangat menarik. Yakni, kekalahan Islam politik! Ya, Islam politik yang diwakili oleh semua partai berasas Islam dan tokoh Islam di kubu Foke-Nara: PKB, PPP, PKS, PKNU, MUI, KH Ma'ruf Amin, Rhoma Irama, Fahmi Albuqorih, dll.
Dengan demikian jualan ayat-ayat agama dalam politik sudah tak laku lagi baik dalam tataran Pileg nasional maupun pilkada di DKI sebagai barometer Pilkada di Indonesia. Islam politik masuk kotak! "Umat Islam" kalah telak. Tanda petik untuk menunjukkan bahwa umat Islam dalam pengertian Islam Politik, karena pemilih Jokowi-Ahok juga banyak sekali yang muslim bahkan diyakini mayoritas muslim.
Umat Islam makin cerdas memilah antara kavling politik kenegaraan-kebangsaan dengan kavling agama. Di mana agama seharusnya diletakkan dan dimana pula sistem organisasi kenegaraan mendapat peran tanpa dikaitkan dengan ayat-ayat agama. Ayat-ayat agama toh tidak akan bisa untuk mengatasi banjir, macet, dan kekumuhan di kali Ciliwung. Ini satu contoh saja.
Jika Jokowi-Ahok kalah maka artinya Islam Politik yang menang. Negara memasuk fase baru, yakni menuju negara Islam (!). Mungkin ini berlebihan tapi itulah cita-cita terpendam dalam benak sebagian kaum Islam Politik.
Siapapun pemenang Pilkada Jakarta, itulah kehendak warga pemilih DKI Jakarta. Yang jelas, kemenangan Islam Politik tidak berpengaruh apapun bagi pengelolaan pemerintah DKI Jakarta. Dengan kata lain, DKI Jakarta tidak otomatis menjadi Daerah Khusus Ibukota Islam Jakarta. Sistem hukum negara sudah terkunci bagi Islam Politik untuk leluasa bergerak.[]