Sebelum menulis artikel ini saya baru saja dapat laporan dari saudara dan teman-teman di pelosok pedalaman Bukit Barisan, sekitar (tapi bukan di dalam) Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dan di pesisir pulau-pulau terpencil di tanah Andalas (Sumatera).
Dengan pekerjaan berat mereka sebagai petani, buruh dan nelayan maka banyak diantaranya yang tidak sanggup puasa. Namun kegembiraan saudara sebangsa ini begitu terasa di hari nan fitri. Tiap sebentar telepon ber-tit-tit menyambut dan mengucapkan selamat Idulfitri.
Saya tahu betul banyak diantara saudara dan teman ini yang bahkan sehari-hari tidak solat. Tetapi saat bulan puasa ikut puasa, ada diantaranya yang dapat beberapa "periuk" (istilah satu hari puasa), dan ada pula yang dapat "30 periuk" puasa. Semua suka cita. Baik yang tak dapat "periuk", yang hanya dapat sekian "periuk", maupun yang full dapat 29 atau 30 "periuk" puasa.
Seorang sudara-semanusia baru saja mengirim pesang singkat. Katanya mereka bertiga sebagai sesama Abangan sedang berkumpul di sebuah pondok di tengah kebun kopi di pedalaman Muarasiau, Merangin, Jambi. Menjelang tengah malam tadi mereka berpesta menyambut Idulfitri dengan membuat "sop Amazon"--entah sop jenis apa ini.
Para saudara Abangan di pedalaman tanah Andalas tersebut sedikit yang solat Id berjamaah di masjid. Pasalnya, tidak ada masjid di sekitar hutan Bukit Barisan, TNKS dan pulau-pulau terpencil. Antar pondok warga berjauhan satu sama lain dan kalaupun ada masjid nun jauh di bawah bukit dekat perkampungan penduduk.
Jadilah Idulfitri tidak hanya bermakna spiritualitas agama, melainkan juga romantisme sosial.
SELAMAT IDULFITRI 1433 H. Mohon Maaf Lahir Batin.
-----------------------
N/b: untuk mengetahui lanskap kehidupan kaum tani tradisional (full foto), sila lihat di artikel bertajuk "Petani Tradisional, yang Tersisih dan yang Putus".