Langkah strategis untuk "mengunci" Polri adalah melalui putusan pengadilan, seperti sekarang dicoba beberapa orang dengan mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Sekalipun ini cukup memakan waktu, dan bersamaan membuat oknum di Polri diuntungkan, akan tetapi lebih masuk akal karena langkah demikian memang dibenarkan secara hukum.
Alternatif lain, adalah dengan mendorong para oknum polisi yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim tersebut untuk mengajukan gugatan praperadilan. Dasar gugatan adalah tidak sahnya penangkapan dan penahanan (vide Pasal 77 dst KUHAP).
Kemungkinan ujung dari gugatan ini adalah putusan hakim yang menyatakan tidak sahnya penangkapan dan penahanan yang dilakukan Polri, akan tetapi bukan tidak sah penyidikannya itu sendiri. Karena itu, andai gugatan praperadilan penangkapan dan penahanan dikabulkan hakim, proses penyidikan tetap jalan terus. Para tersangka saja yang harus dibebaskan dari tahanan--ujung-ujungnya menyusahkan penyidikan juga. Ini harus diakui sebagai sisi negatif dari langkah gugatan ini.
Berikutnya, alternatif radikal untuk menghentikan arogansi Polri adalah, dengan menetapkan Kabareskrim Komjenpol Drs Sutarman Cs (lebih kurang 18 orang) sebagai tersangka, dengan sangkaan merintangi KPK melakukan penyitaan barang bukti di Markas Korlantas Mabes Polri, hari Senin-Selasa (30-31/7/2012) lalu. Pasal yang dikenakan pada Sutarman Cs adalah Pasal 21 UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang notabene merupakan delik formil dan unsur-unsurnya diyakini telah terpenuhi.
Alternatif langkah radikal di atas otomatis akan mempertentangkan vis-a-vis KPK dengan Polri cq. Bareksrim. "Perang" frontal tak terelakan. Karena itu, penulis menyangsikan KPK berani melakukan langkah heroik ini. Apalagi telah ada pernyataan politis dari SBY dan Menkopolkam untuk tidak mengedepankan pertentangan.
Alternatif cukup tersedia. Selebihnya adalah keberanian.