Ngototnya polri menyidik kasus Simulator SIM tersebut tak pelak menimbulkan pertanyaan mendasar, ada apa? Karena jelas-jelas penyidikan Polri demikian cacat hukum karena pada saat yang sama KPK telah mulai melakukan penyidikan yang sama (Pasal 50 UU No 30/2002 tentang KPK).
Logika publik bisa berkata, jika suatu langkah hukum jelas-jelas melanggar hukum dan karenanya cacat hukum, akan tetapi Polri tetap ngotot juga maka tentu ada alasan sangat kuat di balik itu semua. Penulis menduga alasan tersebut menyangkut 'hidup-mati' beberapa oknum di Polri. Sudah jadi rahasia umum korupsi skala besar di suatu lembaga biasanya melibatkan banyak orang, uangnya akan mengalir sampai jauh, dari pejabat penerima sampai atasannya.
Dengan demikian sulit diharapkan Polri bisa objektif dan independen melakukan penyidikan terhadap anggota sendiri, pada saat yang sama banyak kepentingan oknum lain di sekitar kasus tersebut. Padahal, roh dari penyidikan projustisia adalah independensi. Independensi adalah harga mati. Mutlak. Penyidikan yang tak independen sama dengan bukan penyidikan.
Penyidikan merupakan tindakan hukum 'untuk keadilan' (projustisia). Ketika penyidikan terdegradasi legitimasinya karena intervensi atasan/kekuasaan dan kepentingan lain di luar hukum, maka pada saat itulah penyidikan bukan lagi 'untuk keadilan' melainkan 'untuk kepentingan' atau 'untuk kekuasaan'. Hal yang sangat berbahaya. Proses hukum ditunggangi atau dikooptasi kepentingan jahat.
Dari kejadian kongkrit ini bisa jadi pemikiran serius untuk merevisi UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, dan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Khususnya materi muatan penyidikan. Lebih spesifik lagi, tidak lagi boleh penyidikan korupsi di sebuah instansi dilakukan oleh instansi yang sama.
Korupsi di kepolisian dan kejaksaan harus disidik oleh kejaksaan atau KPK. Demikian juga sebaliknya, korupsi di KPK dan kejaksaan harus disidik oleh kepolisian. Prinsipnya, tidak boleh terjadi "jeruk makan jeruk".[]