Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Inilah Bahaya Jika Pemerintah Ikut Campur Internal Agama

19 Juli 2012   08:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:47 329 3
Ada teori kontrak sosial yang menyatakan entitas "negara" merupakan wujud dari kontrak sosial, dimana warga menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada organisasi yang disebut "negara". Salah satu artefak dari teori kontrak sosial dalam konteks Indonesia adalah UUD 1945. Organisasi Negara selanjutnya diberi mandat konstitusional untuk mengurus semua warga, mengayomi semua warga, memfasilitasi semua warga. Tanpa memihak.

Ketika negara memihak warga tertentu dalam urusan keagamaan, seraya pada saat yang sama menindas keyakinan pemeluk agama lain, maka pada saat itulah negara telah kehilangan jati dirinya dalam ikatan kontrak sosial. Kedaulatan warga menjadi subordinat kedaulatan negara. Di sinilah urgensi lahirnya hukum dan konstitusi. Sehingga Penjelasan UUD 1945 menyatakan negara kita adalah negara hukum (rechtstaat) atau bukan negara kekuasaan (machstaat). Yang berkuasa sebenarnya adalah hukum, bukan penguasa cq. Pemerintah cq. Departemen Agama, misalnya.

Salah satu materi muatan kedaulatan yang tidak diserahkan oleh warga kepada negara adalah hak asasi manusia (HAM). HAM tetap melekat pada warga dan menjadi kewajiban negara untuk memenuhi dan melindunginya. Pelanggaran terhadapnya adalah terkategori "pelanggaran HAM".

Maka, konstitusi meletakan garis tegas bahwa kedaulatan warga terutama menyangkut HAM, antara lain kebebasan beragama dan beribadah, tetap berada di tangan warga dan penduduk. Setiap HAM, termasuk dalam beragama dan beribadah bagi setiap warga negara dan penduduk, jadi kewajiban negara untuk melindunginya dan memenuhinya. Negara di sini direpresentasikan oleh organ kenegaraan baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif baik di pusat maupun daerah.

Dikatakan bahwa negara tak lebih tak kurang hanya organisasi biasa. Jadi tidak logis mensakralkan negara di atas agama, sehingga negara seolah diberi mandat untuk menegakkan syariat agama tertentu, seraya pada saat yang sama hanya melayani pemeluk umat agama lain (yang bukan mayoritas) sebagai warga kelas dua.

Sebagai organisasi negara bisa saja diubah bentuknya atau bahkan dibubarkan sekalian. Eksistensi negara sebagai organisasi (seperti NKRI) lahir belakangan. Jauh sebelum NKRI lahir, agama-agama dan kebudayaan Nusantara sudah eksis dan berdikari. Lah, atas dasar apa dan historis apa sehingga negara ujuk-ujuk memihak umat agama tertentu seraya menindas (menyatakan sesat) umat atau aliran keagamaan tertentu pula (seperti Ahmadiyah, Syiah, dll).

Karena itu, membiarkan Negara cq. Pemerintah (eksekutif) cq. Kementerian Agama ikut campur dalam urusan internal agama dan keyakinan keagamaan umat warga negara, sama halnya membiarkan organisasi negara menjadi "hakim" bagi HAM warga. Padahal, pemenuhan dan pelindungan HAM semua warga adalah tanggung jawab negara.

Negara tidak perlu masuk ke urusan internal agama, biarlah ia urusan pemuka agama. Cukuplah kerja negara memfasilitasi semua urusan keagamaan warga. Pun negara tidak perlu mengurusi moral dan dosa warga negara. Urusi saja oleh negara penerimaan pajak dari warga dan penduduk, kemudian urusi kesejahteraan warga, kesehatan warga, tangkap pelaku kriminal, sediakan fasilitas publik dan seterusnya.

Jika dibiarkan terus-terusan Pemerintah dan Ormas/LSM jadi "hakim" keyakinan agama dan moral warga, lama-lama yang jadi agama sebenarnya bukan lagi agama, melainkan pemerintah dan LSM/Ormas itu. Lebih jauh lagi, pemerintah akan maujud jadi "polisi moral" dan/atau "polisi agama" yang seolah absah melanggar HAM warga negara. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun