Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Menyatakan Syiah Sesat dan Tradisi Sidang Isbat, Kemenag Dinilai Cari Penyakit

19 Juli 2012   06:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:48 1304 2
Sangat menarik pendirian Ormas Muhammadiyah yang tidak akan menghadiri Sidang Isbat di Kementerian Agama RI (Kemenag) tahun 2012, Kamis (19/7) sore nanti. Sebagaimana dinyatakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Din Syamsuddin, bahwa Muhammadiyah merasa tidak perlu menghadiri Sidang Isbat Penetapan 1 Ramadhan, sebab ini wilayah keyakinan yang tidak boleh diintervensi oleh Negara.

Sudah berpuluh tahun Kemenag melakukan Sidang Isbat penetapan 1 Rahmadhan dengan mengundang berbagai Ormas Islam yang ada di Indonesia. Tahun ini berbeda. Sidang Isbat mendapat penentangan terbuka dari Ormas Muhammadiyah dengan alasan yang berbau konstitusional.

Bukan kali ini saja Kemenag mengintervensi keyakinan umat beragama di Indonesia. Yang terbaru sebelumnya adalah pernyataan Menteri Agama Suryadharma Ali bahwa Syiah adalah aliran sesat dalam Islam. Dahulu sekali, Kemenag telah mengamini MUI, dengan menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan terlarang hidup di Indonesia.

Kemenang bukannya memfasilitasi semua keyakinan yang real ada di Indonesia tapi malah memposisikan diri sebagai "hakim keyakinan" dengan memihak satu aliran agama dan menyatakan sesat aliran keagamaan lainnya. Jelas-jelas hal ini wujud pelanggaran konstitusi yang telanjang.

Sudah jelas-jelas konstitusi UUD 1945, sebagai hukum dasar tertinggi di negara ini, telah menyatakan dengan tegas dan gamblang bahwa setiap orang dan setiap penduduk bebas dan merdeka untuk memeluk dan beribadah menurut agamanya itu. Kebebasan dan kemerdekaan ini dilekatkan pada diri setiap orang dan setiap penduduk, bukan pada "penghakiman" negara antara lain melalui Kemenag.

Sebagaimana telah diutarakan dalam artikel dahsyat ini "Pengadilan Sesat terhadap Tokoh Syiah Sampang" bahwa titik tekanan jaminan kebebasan dan kemerdekaan dalam beragama dan beribadah terletak pada setiap orang dan penduduk pemeluk agama. Bukan pada negara dan bukan pula pada penghakiman oleh umat lain.

Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945 menjamin kebebasan atau kemerdeaan setiap orang atau penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya itu. “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, …dst,” demikian bunyi Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu,” lanjut Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Yang harus digarisbawahi dari ketentuan Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, namun sering diabaikan banyak orang, adalah bentuk terikat atau pronomina persona akhiran -nya. Bentuk terikat -nya merupakan pronomina benda yang menyatakan milik, pelaku, atau penerima (Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, h. 789).

Kongkritnya, jika dihubungkan pada kasus Syiah Ustadz Tajul Muluk, di Sampang, Madura, maka -nya yang dimaksud di kedua pasal UUD 1945 di atas tak lain tak bukan adalah Ustadz Tajul Muluk sendiri dan jamaahnya. Bukan umat reaksioner yang menentang Ustadz Tajul Muluk yang dijadikan patokan, termasuk bukan Menteri Agama.

Demikian pula halnya ketika Pemerintah melalui Kemenag "mengintervensi" keyakinan keagamaan orang dalam memulai puasa tanggal 1 Ramadhan dengan penetapan keputusan Kemenag maka pada saat itulah Kemenag dinilai telah langgar ketentuan konstitusi di atas.[]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun