Pengadilan sering disebut sebagai 'benteng terakhir keadilan'. Sekalipun birokrasi di kelurahan atau di kecamatan atau di kabupaten/kota atau di gubernuran atau di kementerian atau di istana negara, korupsinya nauzubillah, akan tetapi jika sistem peradilan masih bersih cling maka dijamin kekotoran yang dibawah dari hulu itu akan dipancung sebelum diayak oleh sistem hukum.
Yang terjadi sekarang tidak demikian. Korupsi sudah menggejala luar biasa dari hulu sampai hilir. Dari birokrasi di eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif (peradilan). Masyarakat otomatis larut di dalamnya. Saking larutnya seperti larutan penyegar cap gadis binal, masing-masing sulit dibedakan lagi siapa yang iblis dan siapa yang setan.
Jangan berharap antikorupsi dimulai dari warga. Salah! Mana ada warga waras mau mengeluarkan uang tambahan untuk menyawer sukarela pada aparat birokrasi yang sudah digaji negara. Mendingan uangnya untuk beli susu anak atau bahkan untuk beli rokok.
Warga kasih uang ke aparat karena tanpa kasih uang urusan jadi seret bin lelet. Ironisnya, sudah dikasih uang saja bukan jaminan urusan dengan birokrasi jadi lancar jaya. "Dasar anjing, sudah disuap masih belagu!" umpat kawan di status Facebooknya.
Korupsi harus dimulai dari bongkolnya, sistem hukum. Lalu menjalar ke birokrasi. Warga masyarakat tinggal ngikutin aja. Dijamin 107%! Siapa yang harus menginisiasi dan menginspirasi. Siapa lagi, pemimpin!