Emak nyaris tak merasakan apa-apa waktu mengeluarkan aku dari rahimnya. Tidak didahului kontraksi. Tidak terasa begitu sakit. Nyaris tidak berketuban. Kering kerontang semperti cuaca pagi menjelang siang. Dan, tidak ada tangisan orok.
Sebuah benda lonjong persis telor tapi berukuran lebih besar tiba-tiba keluar dari jalan rahim Emak. Keluar begitu saja pada pagi itu. Emak bingung...apaan ini...yang keluar dari jalan rahimnya. Kok bulat seperti telor. Dibolak-baliknya telor itu, dicubitnya sedikit, tapi tidak ada reaksi. Telor itu tetap diam tergeletak di lantai. Emak diamkan hampir setengah jam. Akhirnya Emak memberanikan diri untuk menyobek kulit telor itu...bret! Tralaaaaaa....keluarlah aku. Ternyata isinya seorang bayi mungil! Tidak begitu ingat lagi ceritanya apakah bayi mungil itu menangis saat kelaur dari pembungkusnya (ari-ari).
Tengah hari Bak baru pulang dari sawah Surumekah, Padang Guci, Bengkulu Selatan, Bengkulu. Pulang-pulang beliau melihat anaknya yang ke-5 telah tergeletak di atas tikar di lantai pondok. Tak jauh dari bayi itu tergeletak pula ari-ari yang berwarna krem agak keabu-abuan.
Ari-ari tadi dibawa Bak ke sungai dan dihanyutkannya. Bak sama sekali tidak tahu bahwa, konon ceritanya, ari-ari itu bisa untuk ilmu kekebalan tubuh atau untuk pengobatan. Baru tahu manfaat ari-ari setelah keesokan datanglah kakek menjenguk. Kakek yang bilang begitu.
Konon pula cerita orang-orang kampung bahwa jika ari-ari itu dihanyutkan maka bayinya kelak setelah dewasa akan pergi meninggalkan kampung. Merantau. Kebetulan pula di telapak kaki kananku ada tanda lahir berupa tahi lalat, yang kata orang tanda orang pejalan. Benar saja. Setelah dewasa aku pergi meninggalkan kampung untuk mencari ari-ariku.[]