Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Kasus Korupsi Seperti Penyakit Kusta

3 Mei 2012   08:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:47 172 1
Sore di kota Padang. Udara terasa panas dan kering.

Saya ingat film lawas tapi lupa judulnya tentang pengidap penyakit kusta. Pengidap penyakit ini dikucilkan di sebuah lembah. Tak seorang pun yang berani mendekatinya, takut ketularan. Kecuali satu orang, yakni bintang utama film itu. Persis seperti itu pula kecenderungan perlakuan orang terhadap tersangka atau terdakwa kasus korupsi.

Orang akan cenderung mencerca tersangka atau terdakwa kasus korupsi. Langsung mengadilinya sebagai bersalah, perusak bangsa, melanggar HAM, cerime against humanity, extra ordinary crime, dan seterusnya.

Praduga tak bersalah sama sekali sulit dipahami. Bahwa orang wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan hakim yang telah berkuatan hukum tetap bahwa ybs memang bersalah secara hukum. Tiba-tiba merasa berhak menjadi polisi, jaksa dan hakim sekaligus.

Yang dulu kawan akrab, sekarang tiba-tiba menjauh. Yang dulu kolega separtai, sekarang pura-pura orang asing. Yang dulu saling bantu-membantu, sekarang tiba-tiba menghilang. Hanya ibu, bapak, anak dan sahabat yang memberikan kasih tanpa syarat saja yang tetap mau menengok. Selebihnya menjauh. Takut ketularan. Takut keserempet.

Jika ada pengacara yang membela kasus korupsi langsung serta merta dianggap pembela koruptor, pembela yang bayar. Bahwa pengacara adalah penegak hukum sebagai penyeimbang, sebagai aktor checks and balances vis-a-vis berhadapan dengan jaksa, sama sekali sulit dipahami nalar publik. Begitupun norma etis bahwa pengacara tidak edentik atau tidak boleh disamakan dengan kliennya juga sulit dicerna nalar publik. Pengacar sama saja dengan kliennya. Kliennya korupsi, pengacaranya korupsi juga.

Anehnya, pandangan serupa di atas tidak berlaku bagi dokter. Walaupun profesi dokter hidup dari penyakit dan penderitaan pasiennya tapi orang jarang komplin dan menghakimi dokter. Orang tak lantas mengindentikan dokter dengan pasiennya. Jelas garis demarkasinya.

Nalar publik berharap setiap kasus korupsi yang masuk ke pengadilan terdakwanya dihukum, tidak boleh dibebaskan. Jika hakim membebaskan terdakwa korupsi maka hakim itu pro koruptor, tidak berpihak pada agenda pemberantasan korupsi. Nalar publik tidak bisa menerima bahwa, bagaimana jika dakwaan korupsi ternyata tidak terbukti di pengadilan apakah terdakwa tetap dihukum juga.

Sampai pada titik ini, jika nalar publik itu diikuti, sebenarnya ada solusi jitu. Setiap orang yang dicurigai korupsi langsung saja ditangkap, tak perlu disidik, tak perlu disidangkan, tak perlu didakwa, tidak perlu dibuktikan di pengadilan, langsung saja dijebloskan ke penjara. Beres. Mengapa repot-repot sidang segala.

Atau, kalaupun terdakwa mau disidangkan juga, cukup jaksa bacakan dakwaan lalu langsung jatuhkan putusan oleh hakim. Jadi, setiap terdakwa yang masuk ke pengadilan pasti dihukum. Tidak dikenal putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum.

Lembaga "pengadilan" dengan demikian telah berubah menjadi lembaga "penghukuman".

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun