Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Meluruskan Praktik Outsourcing

29 April 2012   09:29 Diperbarui: 29 September 2015   09:41 9094 4
Salah satu tema berulang yang disuarakan kalangan buruh setiap perayaan Hari Buruh Sedunia atau May Day tanggal 1 Mei adalah penolakan sistem kontrak outsourcing (alihdaya).

Penerapan sistem outsourcing selama ini menempatkan posisi pekerja menjadi tidak terlindungi dan bisa di PHK tanpa pesangon setelah habis kontrak. Buruh hanya dianggap komoditas. Habis manis sepah dibuang.

Padahal, kerangka hukum sebenarnya dari outsourcing, tidak mesti mengabaikan perlindungan hak-hak buruh. Jikapun terjadi pengabaian hak buruh dalam praktik outsourcing, itu merupakan kreasi dunia kerja saja. Karena itu, dengan pemahaman terhadap ruang lingkup dan manfaat bisnis outsourcing, kesalahpahaman demikian diharapkan berangsur dapat diminimalisasi atau diletakkan dalam kerangka yang lebih proporsional. Sebab, bisnis outsourcing bukan saja berfaedah bagi dunia swasta, tetapi juga bagi badan-badan pemerintah.

Dalam hubungan ini, pengaturan regulasi outsourcing yang jelas dan tidak multitafsir dalam perlindungan hak buruh sekaligus bermanfaat dalam dunia bisnis dan pemerintahan merupakan suatu keniscayaan.

Ruang lingkup

Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar atau perusahaan penyedia jasa outsourcing (Chandra Suwondo, 2003: 3). Melalui pendelegasian tersebut, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing (Sehat Damanik, 2006: 2).

Dalam UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan (UUK) sendiri tidak dijumpai definisi outsourcing. Namun ada ketentuan yang mengatur substansi outsourcing, yakni mulai Pasal 64 s/d 66 UUK.

Menurut ketentuan Pasal 64 UUK, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Jadi, objek outsourcing meliputi pemborongan pekerjaan (outsourcing-produk) dan penyediaan jasa pekerja/buruh (outsourcing-jasa).

Syarat pekerjaan yang di-outsourcing-kan sebagaimana ditentukan Pasal 64 UUK tersebut diatur Pasal 65 ayat (2) UUK, yaitu (i) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, (ii) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja, (iii) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan (iv) tidak menghambat proses produksi perusahaan secara langsung.

Jadi menurut UUK, outsourcing tidak boleh pada layanan utama atau objek pekerjaan bersifat tetap. Karena itu, sudah benar apa yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dengan melarang outsourcing pada layanan inti perbankan seperti teller, constumer service, costumer relation sebagaimana Peraturan Bank Indonesia No.13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-Hatian Bagi Bank Umum.

Penyimpangan

Hanya saja dalam praktik, pengaturan UUK perihal outsourcing di atas sering menimbulkan penafsiran yang kebablasan. Setiap pekerjaan seolah bisa dialihdayakan, bahkan pekerjaan inti sebuah perusahaan sekalipun. Selain itu, perlindungan terhadap pekerja juga sangat minim karena pekerja diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), sehingga habis kontrak habis juga hubungan kerja dengan perusahaan, dan tidak ada kewajiban perusahaan untuk memberikan kompensasi terhadap pekerja yang di-PHK. Hal ini harus diakui sebagai kelemahan elementer dari konsep norma outsourcing yang diatur dalam UUK.

Saking banyaknya penyimpangan praktik outsourcing dari konsep hukum positif dan teori hukum asalnya, sampai-sampai ada pemikiran untuk menghapus ketentuan perihal outsourcing tersebut dalam revisi UUK di masa mendatang.

Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi No 27/PUU-IX/2011 yang menyatakan mekanisme kontrak kerja outsourcing terhadap objek pekerjaan yang bersifat tetap meskipun pekerjaan tersebut sifatnya penunjang, dan pekerjaan inti perusahaan, bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, normanya harus dipandang sebagai revisi hukum outsourcing yang sangat berarti bagi dunia kerja dan dunia usaha.

Adapun amar putusan MK No 27/PUU-IX/2011 tersebut berbunyi sebagai berikut:

    • Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
    • Menyatakan frasa "...perjanjian kerja waktu tertentu" dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa "...perjanjian kerja untuk waktu tertentu" dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
    • Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
    • Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Karena putusan MK ini, maka dua pasal yang ada di UU nomor 13 tahun 2003 itupun berubah dengan dihilangkannya kalimat 'perjanjian kerja waktu tertentu' dan 'perjanjian kerja untuk waktu tertentu.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun