Efek langsung dari kurangnya minat baca adalah rendahnya wawasan. Efek lainnya adalah rendahnya penulisan buku. Asumsinya, penulis pasti adalah pembaca ulung. Sebagaimana dicatat Kompas (25/11/2011), hanya 30.000 judul buku per tahun yang diterbitkan penerbit Indonesia, itupun 50% diantaranya adalah buku terjemahan.
Fakta rendahnya minat baca orang Indonesia sangat mengherankan. Antara lain karena tidak berkolerasi signifikan dengan tingkat melek huruf. Data UNDP Report 2005, tingkat melek huruf orang Indonesia adalah 90% (angka 10% buta huruf masih tergolong tinggi) atau peringkat 85 dari 175 negara yang didata. Artinya, orang yang pandai membaca tidak otomatis gemar membaca.
Pertanyaannya, mengapa sedemikian rendahnya minat baca orang Indonesia? Jawaban sementara ini adalah karena rendahnya rasa ingin tahu.
Ketika sesorang ingin mahir montir mobil, orang tersebut akan belajar langsung secara praktik di bengkel atau di sekolah kejuruan, jarang terlihat yang juga diikuti dengan riset kepustakaan. Ketika ingin berkebun, orang akan cenderung belajar langsung praktik lapangan, sangat jarang terlihat petani melaukan riset kepustakaan tentang bagaimana pembibitan yang baik, penanggulangan hama, dan lain-lain.
Penulis membayangkan di salah satu ruangan rumah seorang bu tani, ada perpustakaan yang berisi ratusan bahkan ribuan buku bertemakan pertanian. Di bengkel mobil disediakan perpustakaan otomotif, dimana montir dan konsumen bisa membaca di sana, menggali rasa ingin tahu tentang segala hal menyangkut mesin mobil termasuk soal kerusakan yang sedang diperbaiki.
Rendahnya rasa ingin tahu adalah akar rendahnya minat baca. Dengan tesis ini maka teorinya semakin tinggi rasa ingin tahu seseorang maka semakin besar peluang orang bersangkutan untuk gemar membaca. Karena keingintahuan yang membucah tidak akan tersalurkan sempurna dengan hanya bertanya dan mengharapkan jawaban seseorang ahli. Pengetahuan yang dalam dan detail hanya mungkin didapatkan dari bahan bacaan: buku, jurnal, majalah, koran, sumber bacaan di internet, dan lain-lain.
Penulis masih ingat persis bagaimana sistem pendidikan yang pernah diikuti sangat kurang merangsang rasa ingin tahu. Pengajaran pada murid seperti mencawan. Murid tinggal menarok gelas dan guru akan menuangkan ilmu ke dalam gelas murid. Selesai.
Murid kurang dirangsang untuk kritis dan mepertanyakan segala sesuatu. Apa manfaat rumus fisika e=mc2 bagi kehidupan nyata. Bagaimana sistem pencernaan bekerja dan bagaimana dampak makanan yang masuk ke dalam sistem itu. Lalu, melakukan pengujian empirik dari bahan kepustakaan yang dibaca, menemukan ketidak akuratan teori lama, merumuskan teori baru sesuai hasil riset empirik.
Dalam kehidupan di keluarga pun mungkin sekali langka penghargaan terhadap peningkatan derajat pengetahuan. Barang kali jarang diantara kita yang ketika anak bertanya tentang seks, misalnya, lalu mendiskusikannya dengan anak, kemudian mengarahkan anak untuk membaca sendiri kepustakaan yang ada tentang organ reproduksi manusia.
Saat orang tua berbeda pendapat dengan anak, merupakan ujian bagi orang tua untuk tetap sabar meladeni perdebatan dengan anak, membiarkan anak mengemukakan pandangannya. Atau, bahkan merangsang anak untuk menuliskan pandangan tersebut ke dalam bentuk tulisan atau catatan.
Jika tidak ada rasa ingin tahu tidak mungkin punya energi untuk membaca huruf-huruf yang dicetak halus di halaman sebuah buku ratusan halaman.(*)