Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Vonis Nazaruddin Serba Tanggung Tapi Tak Dilokalisir

20 April 2012   05:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:23 308 1
Seandainya Nazaruddin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum, beranikah hakim memvonis dengan pidana maksimal? Terbukti tidak. Karena Nazaruddin dipidana "cuma" 4 tahun dan 10 bulan  penjara dan denda Rp.200 juta subsider 4 bulan penjara oleh majelis hakim Dharmawati Ningsih Cs, Jum'at (20/4). Lamanya pidana tersebut tidak maksimal untuk pelanggaran Pasal 11 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang ancaman pidananya lima tahun penjara.

Sebaliknya, seandainya dakwaan pada Nazaruddin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atau terbukti tapi bukan merupakan tindak pidana, beranikah majelis hakim memvonis bebas atau lepas terdakwa Nazaruddin? Sekalipun Nazaruddin telah divonis bersalah, tapi pertanyaan ini tetap relevan karena vonis itu berpotensi besar belum akan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sebab terdakwa bisa saja banding dan kasasi.

Tentu saja tulisan ini tidak ada urusannya dengan apakah Nazaruddin divonis bersalah atau divonis bebas/lepas.

Pada intinya, penulis mempertanyakan independensi hakim. Hal ini menjadi relevan di tengah derasnya intervensi politik pada kasus ini. Bersamaan dengan kuatnya tekanan publik agar Nazaruddin dihukum.

Publik luas di luar perkara ini tentu saja tidak membaca berkas perkara, tidak akan menelaah alat bukti, dan tidak akan menganalisa persesuaian kesaksian para saksi dengan keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan di muka persidangan.

Publik hanya tahu dari pemberitaan media massa. Dari pengetahuan itulah publik--warga orang per orang, media massa, aktivis LSM, lawan politik terdakwa, dan lain-lain--menjelma menjadi hakim. Mengapa disebut menjelma menjadi hakim? Karena hanya hakim yang berhak memvonis orang bersalah atau tidak bersalah.

Tekanan politik berpadu dengan desakan publik menjadikan seorang hakim benar-benar diuji independensinya.

Hakim memiliki semua perangkat lunak (software) independensi yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, perangkat lunak ini mungkin sekali tidak dapat bekerja dengan benar jika perangkat kerasnya (hardware) rusak. Hakim sebagai manusia adalah perangkat keras itu.

Sebagai manusia biasa, walaupun difiksikan wakil Tuhan, akankah hakim tetap jujur dengan hati nuraninya, jika memvonis seseorang akan berakibat pada karir si hakim itu sendiri? Misalnya memvonis terdakwa bersalah akan berakibat meroketnya karir hakim atau memvonis bebas terdakwa berpotensi melambatnya perkembangan karir si hakim.

Pertanyaan di atas sulit dijawab oleh pembaca secara presisi. Hanya mungkin dijawab oleh hakim itu sendiri. Namun, gambaran dunia praktik peradilan membantu kita semua menjawab pertanyaan itu.

Umumnya, vonis hakim dalam kasus korupsi serba tanggung. Divonis bersalah tapi pidananya ringan. Tidak ada vonis maksimal pidana mati atau pidana seumur hidup. Alasan yang acap mengemuka adalah, kesalahan terdakwa tidak layak diganjar pidana maksimal karena korupsi terdakwa bukan semata faktor pada diri terdakwa, tapi juga lemahnya pengawasan, budaya permisif, materialistik, hendonistik, dan sebagianya.

Dalam pada itu, terdakwa korupsi yang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau terbukti tapi bukan merupakan suatu tindak pidana, akan dibebaskan dengan setengah hati. Disebut setengah hati karena bukan bebas murni, sehingga membuka peluang jaksa untuk mengajukan kasasi, sedangkan dalam KUHAP jelas terhadap vonis bebas atau lepas tidak diperkenankan kasasi. Memang ada adagium hukum "lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah", akan tetapi implementasi dari adagium ini harusnya jika terdakwa tidak secara sah dan menyakinkan terbukti bersalah melakukan pidana yang didakwakan, maka vonisnya adalah bebas murni.

Serba tanggung dalam vonis perkara korupsi membuat ketidakpastian hukum. Kasus menjadi berlarut-larut: banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Disamping itu, wibawa hukum dan aparat hukum menjadi terciderai di mata warga negara. Hukum seolah main-main saja.

Sekali lagi, kasus Nazaruddin membuktikan premis di atas.

Namun demikian, paling kurang vonis "ringan" Nazaruddin tersebut terbukti tidak melokalisir pertanggungjawaban hukum dalam peristiwa yang didakwakan kepada Nazaruddin seorang. Sebab, dalam pertimbangan putusan, disebutkan dengan gamblang peranan tersangka lain dan saksi-saksi yang berpotensi jadi tersangka dalam perkara ini. Disamping itu, disebutkan pula dibagian akhir putusan, barang bukti dikembalikan pada jaksa penuntut umum untuk perkara lain, artinya, bisa untuk perkara dengan tersangka Angelina Sondakh atau lainnya.(*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun