Permohonan keberatan pajak Bank Centeral Asia (BCA) kepada Dirjen Pajak Hadi Poernomo terjadi tahun 2003 lalu. Pada saat itu, yang yang menjabat Presiden RI adalah Megawati Soekarnoputri (PDIP) dan Menteri Keuangan adalah Boediono (profesional). Dan pada tahun itu merupakan tahun politik menuju pemilu 2004.
Nah, di sanalah titik krusial kasus ini. Hal mana karena dapat "digoreng" oleh politisi-politisi yang sekarang sedang berebut kursi ke Senayan dan Istana Merdeka.
Penggiringan oleh politisi itu rawan mengarah ke sini: untuk keberatan pajak bernilai ratusan hingga trilunan rupiah tentu saja akan ada komunikasi dsb antara menkeu bahkan bukan tak mungkin dengan presiden.
Sekarang saja sudah muncul politisi-politisi yang ikut "menggoreng" kasus ini setidaknya dengan pernyataan-pernyataannya di media massa, baik pernyataan yang menyudutkan KPK maupun pernyataan yang menyudutkan Hadi Poernomo sendiri.
Sebut saja politisi PKS Fahri Hamzah. Politisi yang masih belum jelas apakah kembali terpilih atau tidak sebagai anggota DPR ini mengeluarkan pernyataan yang bernada mengkritik KPK. Fahri mengendus ada kejanggalan penetapan tersangka Hadi, untuk mengatakan ada aroma politis.
Andaikata pernyataan Fahri PKS ini menguntungkan kubu PDIP, maka bukan tak mungkin dijadikan "senjata" untuk menaikkan posisi tawar pendekatan. Ya, pendekatan apa lagi di momen pemilu begini, kecuali politik penjajakan koalisi. Paling kurang sekalian "balas dendam" pada KPK karena mengusut kasus eks Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Ada lagi politisi Partai Hanura yang juga mantan Dirjen Pajak Fuad Bawazier yang aktif sekali bersuara di media. Nada konten bicara politisi Hanura ini jelas "menyalahkan" Hadi Poernomo. Heran juga media mengambil narasumber politisi begini, apa tidak ada narsum profesional yang independen?
Ke depan, bukan tak mungkin akan makin banyak lagi politisi yang bersuara membentuk opini publik terhadap kasus ini, rame-rame jadi penumpang gelap kasus orang demi tujuan politis tertentu.
(Sutomo Paguci)