Dua orang caleg yang diambil sebagian fokus kajian ini adalah Ulil Abshar Abdalla dan Zuhairi Misrawi. Keduanya adalah intelektual muda Nahdatul Ulama (NU), yang dikenal luas di tengah masyarakat sebagai tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL). Kebetulan, kedua caleg ini diberitakan gagal melenggang ke Senayan.
Diantara kemungkinan banyak faktor kegagalan Ulil dan Zuhairi tersebut adalah, kekeliruan keduanya dalam hal positioning politik. Kekeliruan itu bahkan sudah terjadi sebelum keduanya terjun ke dalam lapangan politik praktis.
Positioning Politik
Istilah "positioning politik" atau pemosisian politik atau penetapan posisi politik sebenarnya lebih ke kajian marketing politik. Karena itu, konsepnya dihibrid dari ilmu manajemen pemasaran.
Dalam ilmu manajemen pemasaran dikenal konsep STP (Segmenting, Targeting, Positioning): segmentasi pasar; penetapan pasar sasaran; dan penetapan posisi pasar (Kotler, 1995: 315). Ketiganya harus jelas untuk mencapai tujuan pemasaran sebuah produk.
Positioning politik di sini untuk mengatakan bagaimana seorang politisi dilihat oleh publik pemilih, yang membedakannya dengan politisi lain, atau dalam istilah politik: bagaimana ia men(di)citrakan (diri) di mata warga.
Ulil dan Zuhairi
Ulil dan Zuhair, kita tahu, adalah dua tokoh muda NU yang pemikirannya sangat cemerlang. Tapi lain soal dalam politik praktis. Tunggu dulu. Kecemerlangan pemikiran belum tentu berkolerasi positif dengan tingkat keterpilihan.
Sejak awal, bahkan sejak sebelum terjun ke politik praktis, Ulil dan Zuhairi sudah dikenal sebagai tokoh muda NU beraliran pemikiran liberal. Segmentasi politiknya sudah terbatas sejak awal. Dan otomatis membuat positioning politiknya kurang menjual.
Harus diingat, tidak semua pemilih suka dengan konsep liberalisme. Sama dengan tidak semua pemilih suka dengan konsep fundamentalisme garis keras seperti diperankan Abu Bakar Baasyir, Riziq Shihab, dll. Karena itu, sikap tengah-tengah vis-à-vis aliran lain, dalam politik praktis, sangat menentukan luas kuadran kesukaan atau ketidaksukaan publik.
Seorang hakim "berbicara" melalui putusannya, maka seorang politisi cukup "berbicara" dengan tindakan atau kerja politiknya, senyata mungkin. Tidak perlu terlalu banyak mengungkapkan pemikiran yang membuat segmentasi politik mengecil dan menyulitkan positioning politik. Cukup berbuat dengan tindakan.
Jokowi, Ahok, Bung Hatta
Kita ambil contoh perbandingan seorang Jokowi, Ahok, dan Bung Hatta. Ketiga politisi ini bervisi politik relatif sama: sosialis, demokrat dan cenderung liberal.
Visi demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan hak asasi manusia (HAM) sangat kuat pada diri seorang Mohammad Hatta, yang kemudian mewarnai tindakan politiknya, baik saat penyusunan UUD 1945 maupun sesudahnya.
Diantaranya, terlihat saat Bung Hatta bermanuver "gagalkan" aspirasi politik aliran (Islam) yang didesakkan saat perancangan UUD bagi Indonesia merdeka. Saat itu, Bung Hatta mencoret tujuh kata berisi syariat Islam dalam Piagam Jakarta. Sehingga UUD 1945 yang berlaku saat ini tanpa tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Sejarah mencatat peranan Hatta tersebut.
Jokowi dan Ahok pun tak kalah "liberal"nya. Lihat saja seorang Jokowi sudah mencontohkan berpolitik inklusif sejak mencalon Walikota Solo hingga Gubernur DKI Jakarta, dengan cara menggaet pasangan dari kalangan non Islam dan minoritas. Segmentasi politiknya jadi meluas. Positioning politiknya bisa diterima di hampir semua kalangan.
Bersamaan dengan itu, Jokowi dan Ahok tak perlu berkoar-koar mencitrakan diri, menahbiskan diri, sebagai tokoh liberal. Keduanya cukup "berkata" melalui tindakan politik.
Bukan berarti tulisan ini mengharamkan segmentasi politik yang "ekslusif", sekalipun substansinya bisa saja inklusif. Maknanya adalah, demi memperluas kuadran keterpilihan, sehingga perlu merancang positioning politik yang tepat sejak awal, dengan "membaca" peta kultur pemilih di Indonesia.
Ini jika hendak terpilih dalam suatu kontestasi perebutan kekuasaan secara demokratis melalui pemilu. Kecuali, jika maksud awal berpolitik praktis bukan sekedar meraih kekuasaan melainkan idealisme politik semata, seperti dicontohkan kader-kader Partai Hijau di Jerman, Partai Internet di New Zealand, dll.
(Sutomo Paguci)