Nah, partai-partai Islam yang selama ini anti-Syiah, anti-Ahmadiyah, dan anti-anti aliran-aliran agama non-manstream cocok sekali bergabung ke Gerindra. Biar makin jelas warnanya.
PPP, misalnya, melalui Ketum Suryadharma Ali pernah membuat pernyataan supaya penganut aliran Syiah di Sampang tobat dulu baru boleh kembali ke kampungnya. Sebentuk syarat rekonsiliasi yang mencekik leher nurani dan keimanan umat Syiah.
Hal yang lebih kurang sama dengan PKS. Kader-kader partai ini yang menjadi gubernur seperti di Jawa Barat dan Sumbar telah mengeluarkan pergub anti Ahmadiyah. Tidak heran bila jemaat Ahmadiyah di Jabar dan Sumbar terdiskriminasi dengan hebat.
Ada lagi sebuah partai Islam yang tak terdaftar dan masuk dalam sistem kepartaian resmi di Indonesia. Partai itu bernama Hizbut Tahrir Indonesia. Partai HTI ini cocok pula mendukung koalisi dengan Gerindra. Puritanisme agama yang diusung HTI cocok dengan manifesto Gerindra.
Disamping itu, ada lagi ormas-ormas dan aliran-aliran politik kalangan Islam yang tak resmi masuk dalam partai manapun karena menilai sistem partai di Indonesia adalah thogut, sebut saja FUI, JAI, MIUMI, dll. Ormas-ormas dan aktivis beraliran puritanisme agama di sini cocok bergabung ke dalam "tenda besar" koalisi yang digagas Gerindra. Gerindra bukan lagi thogut berkat bermanifesto pemurnian agama itu.
Bergabungnya parta-partai Islam dan aktivis Islam bervisi politik intoleran demikian akan membuat pengelompokan politik di Indonesia menjadi jelas. Siapa kelompok toleran dan intoleran menjadi jelas. Tidak ada sama-samar lagi.
Akan menjadi aneh bila parpol berideologi Islam-ekslusif malah bergabung ke parpol nasionalis-inklusif yang visi politiknya bukan berlandaskan agama melainkan konstitusi, kecuali Gerindra. Mending berkelompok saja sesama "jenis kelamin" yang jelas visi intoleransinya. Biar tidak rancu.
(Sutomo Paguci)