Tahun 2025 adalah tepat 100 tahun dari kelahiran Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan Indonesia yang pandai merangkai bahasa secara indah, namun didalamnya sarat tulisan tentang sosial-politik golongan marjinal.
Itulah sebabnya pada era Orde Baru, Pram, panggilan akrab untuk Pramoedya Ananta Toer pernah dituduh berafiliasi dengan PKI, sehingga sempat mendekam di pulau Buru, sebagai tahanan politik. Dibebaskan tahun 1979.
Karya-karya Pram meski sudah hampir mencapai satu abad, ternyata masih relevan hingga saat ini.
Salah satu buktinya, adalah tetralogi pulau Buru yaitu "Bumi Manusia", "Anak Semua Bangsa", "Jejak Langkah", dan "Rumah Kaca". Jujur saja, saat saya masih muda, susah sekali mendapatkan buku karya Pram, karena termasuk buku terlarang.
Beruntunglah, setelah era Orde Baru berakhir, status Pram sudah dipulihkan, dan karya-karyanya sudah dapat dibaca secara bebas.
Diantara tetralogi ini yang paling terkenal adalah novel pertama "Bumi Manusia", bahkan sempat difilmkan (2019).
Novel "Bumi Manusia" menggambarkan dengan detail suasana era kolonial, rakyat kecil yang menderita, hanya golongan bangsawan saja yang dapat hidup layak. Wanita pribumi yang menjadi istri orang asing, kehidupannya lebih layak, namun dianggap rendah oleh sekitarnya.
Gambaran yang menyayat hati adalah saat rakyat Indonesia harus diberlakukan tidak adil di gedung pengadilan. Tidak boleh berjalan biasa, diatas kalinya, namun harus merangkak karena diberlakukan sebagai warga kelas dua.
Hanya kehidupan orang-orang Belanda yang mewah, karena dianggap sebagai warga kelas satu.
Dalam novel "Bumi Manusia", Pram banyak mengambil setting lokasi di daerah Jawa Timur, khususnya Wonokromo, sebuah kawasan yang penting dalam sejarah perkembangan kota Surabaya.
Salah satu tokoh pribumi dalam novel itu, yang banyak berinteraksi dengan orang-orang Belanda adalah Minke. Minke sempat berpacaran dengan Arnellies, putri seorang tuan tanah Belanda dengan wanita pribumi. Hubungan keduanya bermasalah, karena perbedaan status sosial.
Novel ini membahas banyak tema, dari kolonialime, rasisme, dan cinta. Yang ditulis dengan gaya realistis, dengan bahasa yang indah untuk menggambarkan emosi tokoh-tokoh dalam novel.
Pram karena karyanya masuk ke ranah sosial politik, maka sering keluar masuk penjara, baik pada era kolonial, Soekarno dan Soeharto. Namun karya-karyanya justru dihargai di luar negeri.
Pram sudah meninggal dunia pada tahun 2006, namun karya-karyanya masih tetap hidup. Sesuai dengan salah satu ucapannya yang terkenal, "Sepandai-pandainya seseorang, bila tidak pernah menulis, maka namanya akan tenggelam dalam pusaran sejarah."
Bagi masyarakat literasi, kebanggaan seorang penulis adalah bila sudah berhasil menerbitkan buku.
Maka teruslah menulis, dan platform Kompasiana adalah sarana yang tepat untuk belajar menulis. Asalkan harus mematuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.