Kembali komunitas Ketapels, komunitas Kompasianer yang berdomisili di Tangerang Selatan mengadakanacara Ketapels Berbagi, kali ini berbagi ilmu dengan berkolaborasi bersama Ladiesiana, komunitas perempuan Kompasiana.
Acara yang diselingi pembacaan pantun dan puisi ini berlangsung cukup meriah, dengan hadirnya anggota dan mantan Ketua Ketepels, anggota Ladiesiana dan Satu Pena DKJ.. Acara yang didukung oleh DKT Kota Tangerang ini berlangsung dalam cuaca yang kurang bersahabat di O2 Corñer, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat pada Sabtu 14 Desember 2024.
Acara puncak adalah Berbagi inspirasi oleh Iswadi Suhari, anggota Ketapels yang telah berpindah kuadran dari karyawan menjadi wiraswasta.
Topiknya cukup seksi "Galau, Ingin Kerja Kantoran atau Bisnis Sendiri" yang dimoderatori oleh Riap Windhu, Ketua Ladiesiana.
Iswadi adalah anak petani di desa kecil di Kuningan, Jawa Barat. Sewaktu SMP dan SMA sempat bersekolah di Cirebon. Ingin kuliah tidak ada beaya, akhirnya memilih jurusan statistik yang bersifat beasiswa penugasan dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang akhirnya memberikan bea siswa hingga S2 dan S3 di UGM dan Australia.
Meninggalkan BPS dengan jabatan terakhir Kanit, karena ingin cuti diluar tanggungan negara tidak diperkenankan. Akhirnya kesasar ke FAO (Lembaga Pangan Dunia) di Roma, hingga memperoleh jabatan yang cukup tinggi , Wakil Direktur, sebagai satu-satunya orang Indonesia bahkan ASEAN.
Namun Iswadi merasa kerja kantoran adalah bulan passionnya. Ia pun bertekad sepulangnya dari Italia tidak mau kerja kantoran. Apalagi saat ke Mekkah, ketemu seorang wiraswasta yang memberinya wawasan bahwa bisnis itu penghasilannya tak terbatas, meski bisa juga tidak ada. Berbeda dengan sebagai karyawan yang pendapatannya sudah pasti tetapi terbatas.
Iswadi yang sempat menulis novel "Cintaku Setengah Agama", setelah mencoba berbisnis online, akhirnya tetap ke kantor juga, kali ini di Kementerian Agama.
Namun ia tetap membuka toko online, dengan membeli barang dari China, dengan gudang di Amazon. Karena Iswadi yakin bisnis online sedang berkembang. Namun diakuinya ia sering ditegur karena dianggap promosinya melanggar peraturan.
Iswadi yang gemar bermedia sosial, seperti Facebook, YouTube, Instagram, dan terakhir Tik Tok menginspirasinya untuk berbisnis online kembali.
Jualan di Tik Tok (online) menarik karena pasarnya luas, sedangkan bila luring hanya orang-orang sekitar saja.
Mulai sebagai dropshipper saja, yang menjualkan barang orang. Akhirnya meningkat menjadi reseller. Karena dropshipper sering kena penalti bila barang kosong.
Semula melakukan impor dengan cara patungan, lalu mulai merintis bisnis sendiri.
Dalam bisnis online, bila menjual barang mahal, misal modal satu juta Rupiah, ingin laba 10% saja, sulit lakunya. Bila ingin laba besar, juallah barang yang harganya murah, misal modal lima ribu Rupiah , dijual sepuluh ribu Rupiah mudah. Lagi pula packingnya mudah, sehingga tidak kena omel kurir.
Dari pengalaman menjual sepatu yang cukup berhasil, memberinya keberanian untuk membuat sepatu sendiri. Tetapi syaratnya harus memiliki merek sendiri. Muncul ide merek "Ben Seht". Yang menurut pengakuannya adalah "Ben Sehat" (dari bahasa Jawa, yang terjemahannya adalah biar sehat).
Merek harus memiliki asosiasi yang tepat, merek "Ben Seht' asosiasi calon pembeli, produk ini adalah barang impor, padahal barang lokal.
Dengan memiliki merek sendiri, syarat utama adalah mendaftar hak paten. Termasuk membuat logo.
Iswadi juga nembuat diferensiasi. Kalau kertas pembungkus sepatu di dalam kotak lazimnya polos, maka pada produknya kertas pembungkus diberinya kata-kata bermakna, semoga pembeli membacanya. Misal, jangan buang sampah sembarangan, kata-kata ini sangat mendukung kelestarian lingkungan.
Produknya saat ini masih bersifat uji pasar, belum dilincurkan ke pasar. Menurutnya, pemasaran harus fokus pada barangnya.
Tidak bisa meniru kesuksesan orang lain, karena manusia memiliki tejeki masing-masing.
Iswadi berharap bisnisnya bisa berhasil, sehingga ia bisa menulis buku bisnis untuk menginspirasi masyarakat. Kalaupun gagal, dianggap sebagai pengalaman hidup. Yang penting sudah pernah mencoba.
Iswadi menujukan segmen pasarnya pada orang yang mementingkan fungsi, bukan untuk gaya-gayaan.
Pernyataan penutupnya, "Jangan Berhenti Bermimpi".
Kasak kusuk peserta diskusi, Iswadi tentu saja tidak pusing dengan masalah modal kerja, karena tabungannya dari kerja di Roma pasti cukup besar, meski Iswadi berdalih harus melalui affiliate, bila belum memiliki modal kerja.
Bagaimana pandangan pembaca?