Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Diskusi Meja Panjang Bahas Sastra Horor

1 Agustus 2024   05:00 Diperbarui: 1 Agustus 2024   05:02 131 5
Jumat 26 Juli 2024, ruang Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) di Gedung Ali Sadikin lantai 4, Taman Ismail Marzuki  Cikini, Jakarta Pusat, dipadati sekitar 100 peserta dari 70 orang yang mendaftar. Entah topiknya yang menarik, entah narasumbernya yang jadi magnet.

Diskusi Meja Panjang umumnya diadakan di lantai 5, yang lebih santai dan pengunjung boleh merokok. Sedangkan di lantai 4 tampak lebih formal, lebih rapi, karena ruangan ber AC maka dilarang merokok.

Setelah dibuka oleh MC, maka dilakukan pembacaan daftar acara, menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya", disusul acara seremonial seperti sambutan dari ketua panitia dan PDS selaku tuan rumah.

Setelah acara seremonial selesai, dilakukan pembacaan bio data narasumber, pembicara pendamping, pembahas, dan moderator. Tanpa menunggu lama, Yon Bayu Wahyono selaku narasumber utama mempresentasikan tentang sastra horor. Meski ringkas, karena satu minggu sebelumnya peserta sudah menerima materi diskusi berupa buku, peserta lainnya menerima dalam bentuk dokumen digital (file pdf).

Yon memberikan contoh yang masih hidup di dalam masyarakat Jawa (karena Yon kelahiran Cilacap), yaitu sesajen, yang diletakkan di bawah ranjang bayi, dimana tujuannya diberikan untuk ari-ari bayi yang dianggap sebagai Sandra kembar yang hidup di alam lain.

Yon secara lugas menyatakan bahwa horor bukanlah sekadar upaya pembodohan masyarakat dengan meneksploitasi ketakutan ditambah eksploitasi perempuan, melainkan sebuah budaya. Sehingga tepatnya harus disebut sebagai sastra horor.

Yon juga menunjukkan definisi horor menurut KBBI, Plato hingga Sapadi.

Selain sesajen, banyak aktivitas yang telah menjadi kebiasaan masyarakat Jawa, seperti weton, ziarah kubur, sedekah laut / gunung. Semua kebiasaan ini mencapai puncaknya ketika dilembagakan oleh Sultan Agung.

Adapun contoh horor paling lengkap adalah cerita Calon Arang. Seorang perempuan yang mampu membesarkan anaknya sendiri, tanpa suami. Meski hal ini menjadikan munculnys sirik di masyarakat, sehingga perempuan ini dianggap meniliki ilmu hitam.

Dalam menanggapi horor, sebaiknya kita menghargai kepercayaan orang lain tanpa kita harus percaya.

Jadi kesimpulannya, sastra horor adalah karya fiksi berbahasa kebudayaan tradisi dengan unsur menakutkan, seram dan supranatural, dan terbebas dari stereotipe horor seperti yang dipahami selama ini.

Dianggap tidak logis, kelas rendah dan tidak bergengsi.

Ni Made Andani selaku pembicara pendamping lebih condong membahas sisi positif dari sastra horor.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun