Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Habibie, Negarawan Hebat yang Tidak Sempurna

12 September 2019   12:49 Diperbarui: 12 September 2019   16:56 245 3
Setelah berjuang sendirian melawan sakit gagal jantung, akhirnya 11 September 2019 jam 18.03 WIB, Prof. Dr. Ing Bachanuddin Jusuf Habibie menghembuskan nafas terakhir dalam usia 83 tahun (1936-2019) dan bersatu kembali di dunia yang sama dengan Hasri Ainun Besari, isteri yang sangat dicintainya, yang telah meninggalkannya sendirian sembilan tahun yang lalu (2010).

Toleran
Habibie memiliki sikap toleran yang patut dicontoh. Sebagai muslim yang taat yang hampir nyaris tak terpisahkan dengan shalat dan tasbih. Saat kuliah di Jerman, Habibie sering melakukan shalat saat Gereja sepi, karena sulit mendapatkan Masjid di Jerman. Kedekatannya dengan Gereja, membuatnya bersahabat dengan Romo J.B. Mangunwidjaja.

Kedekatannya dengan Romo Mangun, membuatnya mengirimkan sebuah pesawat Hercules untuk membawa jenasah Romo Mangun dari Jakarta ke Yogya.

Terkait dengan toleransi, Habibie juga menyatakan hadiah paling berharga dari bangsa Tionghoa untuk Indonesia adalah memasukkan dan menyebarkan ajaran Islam.

Ditarik Pulang ke Tanah Air
Habibie tercatat dalam sejarah sebagai salah satu mahasiswa Indonesia yang ditarik pulang ke Indonesia pada era pemerintahan Presiden RI ke 2, Soeharto.

Dalam wawancara antara Presiden Soeharto dan mahasiswa Habibie, Habibie bersedia pulang kembali ke Indonesia setelah lulus, asal diperbolehkan mengembangkan pesawat komersial, bukan untuk mengembangkan pesawat perang.

Setelah menjadi Kepala Badan Pengusahaan Batam dan Menteri Negara Riset dan Teknologi Indonesia (1978-1998), tiada yang menyangka akhirnya si mahasiswa pemberani ini, dipilih Soeharto untuk mendampinginya sebagai Wakil Presiden RI pada tahun 1998. Setelah Soeharto menyatakan pengunduran diri pada Mei 1998, secara otomatis Habibie naik menjadi Presiden RI ke 3.

Komnas Perempuan
Seiring peristiwa kerusuhan Jakarta Mei 1998 yang diduga telah terjadi pemerkosaan terhadap perempuan, sekelompok tokoh perempuan telah menemui Presiden Habibie. Dari pertemuan-pertemuan berikutnya terbentuklah Komnas Perempuan yang dikukuhkan berdasar KepPres No 181 Tahun 1998.

Kebebasan Pers
Era Habibie menjabat sebagai Presiden, meski hanya satu tahun (21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999) telah menorehkan nafas segar bagi insan pers Indonesia. Sebelumnya, untuk membuat sebuah penerbitan media konon harus mengantongi tidak kurang dari 16 surat izin. Habibie menunjukkan sikap demokratisnya yang tinggi, yang mungkin diserapnya selama menimba ilmu di Jerman.

Kebijakan Politik
Selain kebebasan pers, Habibie juga telah menyemaikan kebijakan politik yang sangat demokratis. Semasa menjadi Presiden, Habibie telah memberi kebebasan rakyat untuk membentuk partai politik dan serikat buruh.

Yang kontroversial, membebaskan tahanan politik, seperti Sri Bintang Pamungkas dan Mukhtar Pakpahan, serta merubah status tahanan politik Xanana Gusmao menjadi tahanan rumah.

Melalui dua Inpres yang dikeluarkannya, Habibie juga menunjukkan kepeduliannya pada warga Indonesia keturunan Tionghoa. Inpres. No. 26/1998 menghapus istilah pribumi dan non pribumi, dan Inpres No.4/1999 yang menghapus SBKRI (Surat Bukti Kewarga negaraan Republik Indonesia).

Laporan Pertanggungjawaban Ditolak
Habibie adalah satu-satunya, Presiden RI yang laporan pertangung jawaban sebagai Presiden ditolak oleh MPR. Habibie dianggap membuat blunder besar dengan mengabulkan tuntutan untuk mengadakan referendum di Timor Timur yang berakibat lepasnya Timor Timur dari NKRI.

Habibie menyatakan mundur dari dunia politik dan tidak mencalonkan diri kembali sebagai Presiden. Selanjutnya Habibie lebih banyak berfungsi sebagai Bapak Bangsa di bidang teknologi dan demokrasi melalui Habibie Centre.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun