Pada tahun 2006-2007, H. Agus pernah menjadi perbincangan publik di Jawa Bara dan nasional. Itu terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus dugaan korupsi yang dilakukan H. Agus, melakukan penggeledahan-penggeledahan di sejumlah kantor, kemudian menahan yang bersangkutan di Jakarta.
Saat itu, banyak yang tidak percaya H. Agus melakukan tindak pidana korupsi. Apa iya, Bupati yang sering melakukan "kultum" (kuliah tujuh menit) kepada wartawan itu melakukan tindak tidak terpuji itu?
Namun banyak juga yang percaya setelah melihat beberapa bukti berupa rumah atau setelah membaca tuntutan jaksa yang ditunjuk KPK yang disiarkan media massa.
Tetapi, benarkah dia korupsi dan melakukannya sendiri? Entahlah. Saya tidak tahu persis , bahkan saya tidak yakin seratus persen walau hakim sudah memvonis yang bersangkutan bersalah. Pasalnya, di Garut, sepengetahuan saya banyak konspirasi yang aneh.
Hanya yang pasti, menurut hemat penulis yang waktu itu masih menjadi jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung dan bertugas di Garut, walaupun kemudian terpaksa lengser, H. Agus yang pensiunan tentara itu, sebenarnya saya anggap merupakan Bupati yang berani. Keberaniannya itu bahkan menghasilkan sesuatu yang berarti bagi masyarakat Garut. Betapa tidak?
Menurut catatan saya, H. Agus suatu ketika pernah mendemo PT Chevron, perusahaan gas bumi yang beroperasi di Garut, serta pemerintah pusat. Demo itu dilakukan karena Agus merasa bagi hasil yang diterima Garut dari PT Chevron yang dibagikan pemerintah, sangat tidak adil. Bagi hasil yang diterima Garut sangat kecil. Padahal PT Chevron melakukan eksplorasi gas bumi di wilayah Kabupaten Garut.
"Ulah" H. Agus itu, waktu itu cukup menyita perhatian. Seorang menteri, kalau tidak salah, sampai turun ke Garut dan melakukan penjelasan di PT Chevron kepada wartawan. Jakarta beberapa bulan heboh, terutama di kementrian terkait.
Saat itu ada kekhawatiran dari pemerintah di Garut, upaya H Agus itu seperti menabrak batu. Agus bahkan pesimis tuntutannya soal bagi hasil itu akan sukses. "Saya pasrah saja. Yang penting saya sudah berusaha. Hasilnya toh bukan untuk saya, tetapi untuk warga Garut," tutur Agus Supriadi suatu ketika kepada penulis.
Namun di luar dugaan, belakangan, ketika H. Agus sudah "masantren" di Jakarta, keberanian Agus itu ternyata membuahkan hasil. Pemerintah pusat memberikan bagi hasil dari PT Chevron kepada Garut sebesar Rp 5 milyar per tahun. Dana bagi hasil itu mulai diterima oleh pemerintahan Garut di bawah kepemimpinan Ceng Fikri.
Saya sekarang tidak tahu, apakah dana bagi hasil itu rutin diberikan pemerintah kepada Garut tiap tahun atau tidak? Saya juga tidak tahu apakah dana itu sudah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Pemerintah Garut atau tidak untuk kemakmuran warga Garut sebanyak-banyaknya. Saya tidak tahu karena saya sejak 2007 meninggalkan Garut, untuk menempati pos baru sebagai wartawan HU Pikiran Rakyat di Kota Banjar.
Terakhir, sepengetahuan saya, H. Agus juga ganteng, kaya lagi. Tetapi H. Agus tidak pernah menyatakan kepada publik bahwa dirinya ganteng dan kaya (karena dirinya bupati) seperti Ceng Fikri. Dia juga tidak melakukan perkawinan kilat!
H Agus mungkin benar korupsi, tetapi dia (kalau benar korupsi) sudah bisa "mengembalikan" uang yang dikorupsinya melalui Chevron. Kini perjuangannya mendemo Chevron dan pemerintah berbuah manis: tiap tahun ada dana besar dari Chevron, sebagai bekal untuk membangun dan mensejahterakan Garut. Mudah-mudahan warga Garut mengingat hal itu, di tengah menggelindingnya kasus Ceng Fikri dengan perkawinan kilatnya itu....(Aam P Sutarwan, mantan wartawan HU Pikiran Rakyat, Bandung).