Tapi saya kok masih ingin ikut urun rembug soal ini. Iya, karena pernyataan ini mengerikan (tanpa tanda kutip). Keblinger dan menyesatkan.Kalau benar itu gambaran demokrasi kita atau birokrasi kita, benar-benar mengerikan.
Kita bukanlah budak prosedur. Kita seharusnya pelayan/pengabdi niat. Cara atau prosedur itu diciptakan untuk melaksanakan niat (baca : tujuan). Jadi awalnya adalah niat, niat yang benar. Karena itu, kebenaran suatu niat adalah mutlak, sedang kebenaran suatu cara atau prosedur adalah relatif. Kesalahan prosedur masih bisa dimaafkan, tapi kesalahan suatu niat relatif tidak termaafkan.
Kalau niat kita adalah mencuri untuk keuntungan diri, maka secantik, se-nyeni, secanggih, sebenar apa pun cara yang kita gunakan, kita tetaplah mencuri, dan jika itu benar terlaksana, kita harus dihukum. Kalaupun pencurian itu gagal terlaksana, kita tetap dianggap sudah mencuri, dalam pikiran kita, dalam hati kita, dalam niat kita. Sebaliknya, kalau niat kita melaksanakan tugas konstitusi melayani masyarakat dengan jujur dan berdedikasi, maka kesalahan prosedur, dalam situasi tertentu mungkin bisa dimaafkan.
Tentu, idealnya adalah niat yang benar dilaksanakan dengan cara yang benar. Tapi, jika niat kita memang niat yang benar, biasanya kita akan menempuh cara yang benar untuk mencapainya. Saya hampir-hampir percaya bahwa secara universal, niat yang benar tidak akan bisa dicapai dengan cara yang tidak benar. Cara yang benar disini dimaksudkan sebagai cara yang benar secara universal (tidak dengan merugikan orang lain atau masyarakat, atau melanggar prinsip-prinsip etika (bukan etiket) universal, dan sebagainya), bukan cara/prosedur yang "sesuai dengan kesepakatan", karena itu sifatnya relatif.
Oh ya, tulisan ini bukan tentang DPRD dan Ahok, ini semata-mata tanggapan atas pernyataan anggota DPRD termaksud di awal tulisan ini.