Rasanya lebih mulia bila kita yang hidup saat ini mengenang jasa-jasa baik almarhum/almarhumah orang yang sudah meninggalkan kita selamanya. Bukan memelihara dendam meski sempat mengalami kekejaman atau ketidaksesuaian apapun dari tindakan dan perbuatan orang-orang yang telah mendahului kita tersebut. Nampaknya, ini pesan yang ingin disampaikan dalam buku baru terbitan Gramedia, Cetakan I Juni 2011 dan Cetakan 2 Juli 2011 dalam bentuk superbesar ukuran 27 X 27 Cm2 ini. Fuad Bawazier,AM Fatwa, dan Tanri Abeng membedah Pak Harto: The Untold Story Sebuah buku baru Pak Harto
The Untold Story merupakan kisah kehidupan mantan Presiden Republik Indonesia ke-2 yang belum diceritakan yang paling lengkap untuk saat ini. Ada 133 nara sumber yang mengungkapkan kisahnya saat berinteraksi dengan beliau dalam buku terbitan Gramedia ini kepada lima penulis, yaitu Mahpudi, Dwitri Waluyo, Bakarudin, Donna Sita Indria, dan Anita Dewi Ambarsari. Alasan tidak dipublikasikan semasa hidupnya, mengingat tokoh kharismatik itu memang kurang suka bila riwayat hidupnya dipublikasikan sehingga akhirnya menjadi bagian hidup yang penuh misteri. Padahal banyak yang dapat ditarik sebagai pelajaran bagi orang lain yang membacanya. Untuk itulah kelima penulis bermaksud mengungkapnya dalam buku setebal 603 halaman ini, dimana banyak hal yang belum terungkap di buku manapun yang berisi tentang sosok Pak Harto. Hikmah membaca buku ini adalah dapat memahami kepribadian dan kepemimpinan Pak Harto. Sebagaimana penuturan Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjadi Wakil Menteri Pertahanan RI sewaktu kunjungan ke Bosnia Herzegovia dengan tenang tanpa memakai baju rompi anti peluru. Atau bagaimana beliau menyikapi mahasiswa yang berdemonstrasi menjelang Reformasi 1998 juga dapat disampaikan Teguh Juwarno , Fadli Zon maupun Yudi Chrisnandi. Dari ungkapan ketiga nara sumber ini, andai Pak Harto "haus darah" mungkin kondisi di Libya akan terjadi (Red.+: SP) Buku ini tidak hanya berkisah soal para mantan pejabat seperti Fuad Bawazier, tetapi juga mantan lawan-lawan politiknya seperti AM Fatwa yang vocal melawan Pak Harto, namun di ujung hidup beliau ia justru berinteraksi cukup bersahabat dan sangat humanis sekali, dimana ada pengakuan AM Fatwa yang sempat mengecup kening pak Harto saat dirawat di RS Pertamina. Bedah buku ini dilakukan di sejumlah kota: Gramedia Merdeka-Bandung (9/10) , Gramedia-Maksar (15/10), Gramedia Yogya (15/10). Gramdedia Medan (5/11), Gramedia Semarang (5/11), Gramedia Surabaya (5/11). Dan Gramedia Jakarta (12/11) dan (19/11). Buku ini dibagi 8 bab: Bab 1, Kesatria Cemerlang. Berisi pengakuan Tun Mahathir Mohamad bahwa kejayaan Pak Harto lebih besar, hingga pengakuan Tony Soenanto kala Pak Harto naik kapal patroli BC 902. Bab 2, Bahu-membahu demi Negara. Berisi pengakuan Emil Salim, saat mengawasi dan melestarikan rumah tangga alam, hingga pengakuan Marimutu Sinivashan bahwa rakyat harus turut mengoreksi pembangunan. Bab 3, Kedua Tangan Itu Selalu Terbuka. Dengan gamblang mantan aktivis mahasiswa Fadli Zon mengakui bahwa pak Harto Bukan Pemimpin Biasa, hingga pengakuan Permadi soal PSL (pakaian sipil lengkap) yang berisi kisah saat ia ditolak masuk oleh penjaga pintu seminar ketahanan pangan yang dihadiri oleh Pak Harto. Singkat cerita, ternyata Pak Harto tidak mempermasalahkan pakaian Permadi yang serba hitam-hitam saat itu, bahkan saat duduk berhadapan persis dengan beliau malah menerima senyum ramah beliau. Bab 4, Sepenuh Hati Untuk Rakyat. Diawali kisah pengakuan Camelia Malik tentang Biarlah Alam Berbicara, hingga pengakuan Rudy Hartono Kurniawan soal Bapak Yang penuh Senyum. Bab 5, Perhatian hangat Dari Lubuk Hati. Berisi ungkapan Meutia Hatta bahwa Pak Harto Di Tengah Keluarga Bung Hatta, hingga pengakuan pengusaha Sudwikatmono bahwa Berbisnis Jangan Menzalimi. Bab 6, Kenangan Dari Keseharian Yang Bersahaja, berisi pengakuan M.Jusuf Kalla bahwa Pak Harto merupakan Pribadi Yang Mengesankan hingga ungkapan Wiranto mengenai Kepemimpinan Yang Rasional. Bab 7, Semangat Yang Tak Pernah Padam. Berisi 3 nara sumber, Mardjo Soebiandono tentang ajakan Ayo Kita Ngaji. Satyanegara, Setetes Air Mata Pak Harto. Dan Sutji Mariono, Pasien Teristimewa. Bab 8, Siraman Kasih Yang Mahakuasa. Berisi pengakuan Rusmono mengenai Pribadi Yang Saya Kagumi, hingga pengakuan Bismar Siregar bahwa Bapak HM. Soeharto Yang Saya Cintai. Secara keseluruhan buku ini menarik perhatian undangan yang hadir di
Times book store, Lippo Karawaci, Tangerang, Banten pada Sabtu (12/11). Pembahas buku, AM. Fatwa; Tanri Abeng, dan Fuad Bawazier dengan antusias menjawab setiap pertanyaan yang datang dari audiens dari kalangan Universitas Pelita Harapan (UPH), undangan dan lingkungan sekitar "Singapura-nya Tangerang". Umumnya. Pertanyaan audiensi dikaitkan masa kekinian dibanding masa pemerintahan Soeharto. Dalam pengakuan lisan AM Fatwa sangat jelas, tidak ada dendam beliau kepada almarhum Soeharto yang membuatnya masuk penjara sebagai tahanan politik. Sedangkan Fuad Bawazier berkesempatan mengatakan bahwa jaman pemerintahan Soeharto masih lebih baik dalam menekan dan menangani kasus korupsi. Saat ini telah terjadi oligarki politik, dimana pedagang juga ikut berperan dalam mewarnai percaturan politik di tanah air dengan jalan menjadi pedagang sekaligus menjadi politikus. Tanri Abeng sendiri menyampaikan salut terhadap penanganan BUMN sejak dipegang Meneg BUMN Dahlan Iskan dibanding yang selama ini terjadi, terutama dalam hal kebijakan Dahlan Iskan melakukan efisiensi BUMN di segala bidang. Selain mendapatkan buku tentang Pak Harto, audiens juga mendapatkan buku mengenai Fello Traveller karya Mayjen (Purn) Soetoyo NK. Pokoknya, bedah buku kali ini termasuk supermewah dengan souvenir dan suasana yang nyaman di pemukiman "Singapura-nya Tangerang", Times Bookstore,Lippo Karawaci, Tangerang, Banten. [caption id="attachment_141941" align="alignright" width="322" caption="Memegang Pak Harto"][/caption] Yang berdiri di depan Pak Harto
KEMBALI KE ARTIKEL