Setiap tanggal 21 April di tanah air selalu memperingati hari bersejarah bagi perempuan Indonesia, dimana pada tanggal itu dilahirkan RA Kartini yang kemudia dikenal sebagaipelopor kebangkitan pribumi dalam memberantas kebuta-aksaraan bagi perempuan dalam sebuah gerakan penting dalam keadilan dan kesetaraan terhadap pendidikan bagi perempuan dan laki-laki sebagai hak.
Ironisnya, hingga kini masih saja terdapat 8,3 juta penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami buta aksara, 64% atau sekitar 5,3 juta di antaranya adalah perempuan (Kemendiknas, 2010). Sedangkan di DKI Jakarta, terdapat 13 ribu lebih laki-laki buta huruf dan 24 ribu lebih perempuan buta huruf. (Diknas 2009).
Menurut Siska, Humas YAPPIKA, bertepatan dengan Peringatan Hari Kartini sekaligus Hari Buku Sedunia, YAPPIKA bersama Forum Indonesia Membaca hendak mengadakan dialog publik bertema “Pendidikan bagi Perempuan dan Refleksi Hari Kartini” untuk menegaskan kembali betapa isu buta huruf dikalangan perempuan, adalah kemendesakan yang harus segera diatasi. Seperti kita ketahui, sebagian besar dari perempuan yang buta huruf berasal dari keluarga miskin di kawasan pinggiran kota besar atau daerah terpencil. Mereka umumnya mengalami kesulitan dalam urusan administrasi dan rawan ditipu. Masalah ini menjadi sangat penting karena dengan ketidakmampuan ini, mereka banyak menemui kendala mengakses pelayanan publik, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, maupun administrasi kependudukan.
Sebagai respon terhadap masalah tersebut, YAPPIKA – organisasi yang bergiat mengkampanyekan isu pelayanan publik – berinisiatif mengembangkan program Keaksaraan Fungsional (KF) dengan nama. Program pembelajaran KF ini ditujukan bagi para ibu buta huruf di kawasan miskin kota di Jakarta Utara. Pembelajaran KF yang dilakukan, bukan sekedar baca-tulis-hitung, namun memuat substansi hak-hak dasar warga negara terkait pelayanan publik, seperti jaminan pelayanan kesehatan bagi warga miskin (GAKIN), Jamkesmas, Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), serta prosedur klaim terhadap pelayanan tersebut. Seluruh sumber pembiayaan program berasal dari donasi publik.
Program ini tidak hanya melandaskan pada kepedulian dan partisipasi publik dalam berdonasi, melainkan pula menerapkan skema volunterisme di kalangan anak muda (mahasiswa) dan warga lokal. Para tutor relawan (pendamping ibu belajar) tak lain adalah para relawan Yappika (mahasiswa Fak. Pendidikan, UNJ) yang mempunyai keahlian sebagai fasilitator pembelajaran KF dan relawan lokal (para ibu kader). Saat ini, telah satu tahun lebih program berjalan. Kami telah berhasil mendirikan 10 kelompok belajar di Kel. Marunda dan Kel. Sukapura, Jakarta Utara. Proses pembelajaran dilakukan dalam kelompok dan pertemuan tatap muka, 2 kali dalam seminggu, tiap kelompok terdiri dari 10-15 warga ibu belajar, selama 6 bulan berturut-turut. Untuk itulahYAPPIKA mengadakan sebuah dialog publikdengan tema:
PENDIDIKAN BAGI PEREMPUAN DAN REFLEKSI HARI KARTINI
Museum Bank Mandiri, Jakarta
Minggu, 24 April 2011, Pukul 10.00-12.00