Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Pilih Tersembunyi atau Vulgar?

1 November 2010   10:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:56 171 0
[caption id="attachment_310459" align="alignnone" width="72" caption="sejarah hidup,google.com"][/caption]

Beberapa sahabat di Kompasiana penasaran dengan pemakaian nama dan wajah  yang telah SP tulis dalam mengapa nama beda namun wajah sama . Agar tidak keliru dalam menafsirkan tulisan itu karena banyaknya protes via  jalur pribadi dan email SP yang telah dipublikasikan. Ada yang memberi komentar mendukung atau pula tidak mendukung. Padahal yang SP maksudkan, ya mbok kalau tersamar ya jangan cuma terlihat matanya kek atau memakai mahluk lainnya.

Konon, yang tersembunyi itu indah, dan yang  "ngablak"  atau vulgar justru menakutkan. Itu cuma pendapat, sekali lagi itu cuma pendapat. Namun, bila kita timbang sebagai mahluk sosial tentu tidak ada salahnya saling terbuka (open minded). Sama dengan serial rilis ini  juga pendapat tambahan soal mengapa nama beda tetapi wajah sama. Baiklah kumuat antara lain nama Sutan Pangeran yang ada dalam [http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/marahrusli.html]. Begini kutipan penuhnya kumuat tanpa dibuat perubahan sedikit pun:

Namanya sangat terkenal karena karya novelnya Siti Nurbaya.”Novel roman ini merupakan salah satu ikon sastra Indonesia. Hingga kini roman ini dijadikan salah satu bacaan para siswa di Indonesia dalam mempelajari kesusasteraan. Begitu populernya novel ini, sehingga dijadikan idiom oleh masyarakat kini untuk menyatakan ketidaksetujuan dengan orang tua yang menjodohkan anaknya. Marah Rusli masih termasuk keluarga bangsawan Pagaruyung. Penulis ini lahir di Padang, Sumatera Barat 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sutan Abubakar, gelar Sutan Pangeran. Ibunya berasal dari Jawa dan keturunan Sentot Alibasyah, salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.

Ia masuk sekolah dasar di Padang yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Setelah lulus, ia melanjutkan ke sekolah Raja (Kweekschool) di Bukit Tinggi, lulus tahun 1910. Ia melanjutkan sekolahnya ke Vee Arstsen School (sekolah Dokter Hewan) di Bogor dan lulus tahun 1915. Setelah tamat, ia di tempatkan di Sumbawa Besar sebagai Ajung Dokter Hewan. Tahun 1916 ia menjadi Kepala Peternakan.

Pada Tahun 1920, Marah Rusli diangkat sebagai asisten dosen Dokter Hewan Wittkamp di Bogor. Karena berselisih dengan atasannya, orang Belanda, ia diskors selama setahun. Selama menjalani skorsing itulah ia menulis novel Siti Nurbaya”pada tahun 1921. Karirnya sebagai dokter hewan membawanya berpindah-pindah ke berbagai daerah. Tahun 1921-1924 ia bertugas di Jakarta, kemudian di Balige antara tahun 1925-1929 dan Semarang antara tahun 1929-1945.

Tahun 1945, Marah Rusli bergabung dengan Angkatan Laut di Tegal dengan pangkat terakhir Mayor. Ia mengajar di Sekolah Tinggi Dokter Hewan di Klaten tahun 1948 dan sejak tahun 1951 ia menjalani masa pensiun di Bogor.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun