Malam minggu (28/8) kemarin adalah taraweh pertamaku di luar rumah. Tapi, tetap dilakukan di dalam rumah, yaitu berjamaah dengan kawan-kawan dari KAHMI Jaya usai buka puasa bersama di rumah Walikota Jakarta Pusat Prof.Dr.Silviana Murni, Jl.Sunda Kelapa No.6 Jakarta Pusat. Yang berkesan bukanlah mendengar di tengah tausiah ada "suara" dukungan KAHMI Jaya yang mendukung Silviana untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012-2017. Bagiku urusan menjadi gubernur dan jabatan lebih tinggi dari itu adalah urusan masa silam yang telah kutanamkan dalam ajaran "independen" yang hingga kini masih terseok-seok di semua lini, karena aturan yang ketat dan sikap KPU dan KPUD yang "berani membela yang bayar" serta tidak ikhlasnya legislatif dalam membuat UU yang (akan)merugikan eksitensi partai karena keberadaan calon independen. Bukan juga dari ceramah salah seorang pengurus KAHMI yang mengatakan bahwa sebenarnya Presiden SBY tidak pernah merasakan pendidikan di LEMHANAS. Bukan, bukan itu semua. Apalagi karena terkesan, soal makanan dan keramahan Silviana dalam menyapa para tamu-tamunya yang hadir. Yang menjadi kesan menyenangkan, adalah karena sholat diperingan dengan melakukan formasi 4-4-3, yaitu taraweh 8 rakaat dan witir 3 rakaat, total semuanya hanya ada 3 kali salam tanpa tahayyat awal, tapi langsung tahyahtull akhir. Ini sangat berkesan bagiku. Rasanya yang berjamaah seperti itu hanya pernah kulakukan waktu Ramadhan 1429 H, beberapa tahun lalu (1998?) saat di rumah Hatta Rajasa, di dekat Fatmawati, Jakarta Selatan atau beberapa lagi di departemen-departemen yang tidak perlu kuingat kesannya. Coba, andaikan mayoritas umat melakukan seperti itu, hanya 11 rakaat, bukan 23 atau 21 rakaat yang mana melakukannya dengan cepat dan hanya mengulang surah-surah pendek seakan dikejar -dikejar waktu. Seingatku, ada isi khotbah yang mengatakan bila Rasul dalam seumur hidupnya sangat sedikit menggunakan rakaat yang yang mencapai puluhan. Mengapa? Karena Rasul tidak ingin membuat payah umatnya, yang mungkin sudah lelah seharian bekerja dan mengantuk bila mengikuti stamina Rasul dalam sholat. Ada benarnya juga kisah ini, kurasa, sebab Rasul lebih berlama-lama dalam sholat tengah malam (misalnya tahajud) bila ia lakukan sendiri. Namun, dalam suasana Ramadhan, beliau tahu "hak tubuh umat" juga mesti diberikan. Inilah super empati Rasul Muhammad.
KEMBALI KE ARTIKEL