Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Garing

8 Juni 2012   00:58 Diperbarui: 4 April 2017   16:16 2209 1

Akhir-akhir ini, kata “garing” beralih makna. Ia berubah menjadi “lelucon yang tidak lucu”. Kalau ada seseorang bermaksud melucu, tapi ditangkap pendengarnya sebagai cerita yang biasa-biasa saja, maka dia dikatain “garing”. Ia juga dikenakan pada pernyataan, keputusan atau sekedar obrolan yang kurang disukai pendengarnya, pembacanya, pemirsanya, atau masyarakatnya. “Garing” mengindonesia menjadi kata berkonotasi “negatif”.

Saya menduga pergeseran makna “garing” yang semula berarti “kering” ke sesuatu yang tidak disukai, berasal dari pepatah jawa : “Aji godhong garing” yang berarti : “Sesuatu yang tidak bernilai sama-sekali, sia-sia, tak berguna”. Entah mengapa menjadi demikian.

Ada seorang politisi yang terkenal garing. Pernyataan-pernyataannya - yang mungkin biasa-biasa saja - ditangkap orang sebagai sesuatu yang kontroversial. Saya menduga bahwa dia bermaksud baik, tetapi karena disampaikan dengan nada fallseto, ia menjadi lirik lagu dengan irama sumbang. Media on line Tempo.co (8 Mei 2012, 14.13) mencatat 10 pernyataan sang tokoh yang dianggap menimbulkan kontroversi. Itu diucapkan sejak akhir 2010 sampai Mei 2012. Kira-kira berdurasi 19 bulan.

Contoh pertama adalah komentar sang tokoh menanggapi tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, 27 Oktober 2010. Celetukan ditujukan kepada para nelayan yang menjadi korban bencana tadi. “Ada pepatah, kalau takut ombak, jangan tinggal di pantai”. Begitu kira-kira selorohnya. Langsung sang tokoh mendapat “hujatan” dari segala pelosok penjuru Nusantara. Sebagai pimpinan parlemen, dia tidak peka terhadap penderitaan rakyat yang diwakilinya. Nelayan yang sedang menderita habis-habisan, moril dan materiil, disalahkan karena tinggal di pantai. Padahal itu adalah alam dan hidup mereka. Dia kelimpungan ketika sadar bahwa dirinya telah mencederai perasaan korban tsunami yang tentunya sangat menderita.

“Jadi, kita maafkan saja semuanya. Capek kita ngurusin masa lalu terus”. Demikian bapak tadi berujar menanggapi banyaknya anggota parlemen yang ditangkap karena korupsi. Sekejab setelah pernyataan tadi keluar, dunia politik hingar-bingar. Rakyat, yang diwakilinya, merasa tertipu dan marah, ketika pimpinan para wakil, berniat me-write off semua kasus memalukan dan hina, yang dilakukan oleh wakil mereka. Sama sekali sulit dimengerti, kalimat yang pasti memilukan hati, keluar dari seseorang yang seharusnya berdiri didepan, membasmi penyakit masyarakat tadi.

Kasus garing lainnya yang tiba-tiba menyeruak dan mengagetkan kita adalah keluarnya grasi bagi “ratu mariyuana dari Australia”. Ditengah-tengah antusiasme masyarakat membasmi narkoba, pimpinan tertinggi pemerintahan dan negara ini justru mengurangi masa tahanan sang ratu. Hukuman 20 tahun didiskon 5 tahun, sehinggga praktis dia akan segera bebas. Jelas sudah bahwa keputusan garing diprotes banyak pihak. Presiden, apapun alasannya, telah mengirim signal keliru dalam pemberantasan narkoba. Padahal, dia pernah mengaku akan memimpin perang melawan narkoba.

Perilaku “garing” seperti contoh diatas, akhir-akhir ini banyak berseliweran di media massa nasional. Pernyataan garing didebat ucapan garing lainnya. Sikap garing dibalas keputusan yang lebih garing. Obrolan garing ditimpa guyonan yang tak kalah garing. Garing menjadi mode yang top hit di negara kita. Garing menjadi trade mark para elit untuk eksis. Garing lama-lama akan menjadi “budaya”. “Berbudaya garing”, demikian nanti bangsa Indonesia akan dijuluki.

Fenomena garing nampaknya bukan hanya terjadi di Indonesia. Bukan pula mode yang baru saja muncul. Bahkan ia pernah dijadikan kisah dalam lagu ternama yang dipopulerkan oleh grup band dunia yang melegenda. Ia populer sejak 1968 dan sampai sekarang masih bertahan. Kalau disuruh menterjemahkan ke bahasa Indonesia, saya akan menyebutkan sebagai lagu “Garing”. Judul aslinya, “I Started a Joke”.

Ia didendangkan almarhum band Bee Gees, dan digubah vokalis utamanya, Robin Gibb. Saya tersentak duka, ketika mendengar pemusik dan penyanyi idola saya itu, Robin Gibb, telah menghembuskan nafas terakhir 20 Mei lalu. Dia menyusul saudara kembarnya - personil Bee Gees lainnya - Maurice Gibb, di tahun 2003. Dunia musik dunia mengheningkan cipta, berduka dan meratap kepergiannya. Renungan ini saya persembahkan untuk dia.

Ucapan belasungkawa mengalir untuk Robin, pujaan, sanjungan dan hormat diserukan untuk almarhum. Kalangan musik beramai-ramai mengenang kehebatan Robin Gibb begitu terdengar kepergiannya ke alam baka. Tak kurang mantan PM Inggris, Tony Blair mengaku akan sangat kehilangan Robin. “Robin bukan hanya musisi dan penggubah lagu yang luarbiasa dan istimewa, dia juga seorang manusia yang sangat cerdas, penuh perhatian dan punya komitmen,” tukas Blair yang berteman dekat dengan Robin. (Kompas, 21 Mei 2012, hal 10).

Lahir bersamaan dengan kembarannya Maurice Ernest Gibb, pada tanggal 22 Desember 62 tahun lalu, di Douglass, Isle of Man, Inggris, Robin Hugh Gibb dibawa pindah ayahnya, Hugh Gibb ke benua lain, Australia. Redcliffe, tetangga Brisbane, merupakan kota kecil yang kemudian membesarkan Gibb bersaudara. Tidak hanya usia, tetapi juga besar nama. Gibbs tenar diawali lagu “Spicks and Specks” (Rapi dan Berbintik) (1966), yang langsung menduduki anak tangga teratas lagu-lagu populer di Australia. Sejak itu, Gibbs tak terbendung lagi. (Gatra, 30, 6 Juni 2012, hal 54).

Lagu-lagu populer yang juga dikenal telinga pencinta musik di Indonesia selain “I Started a Joke”, adalah “Massachusetts”, “Wine and Women”, “Five Talking”, “Night on Broadway”, dan “To Love Somebody”. Bahkan Gibbs juga sukses mengantar film disko “ Saturday Night Fever”, menjadi top box office di seluruh dunia, dengan mencipta sound track-nya. Gibbs, yang kemudian menamai grupnya Bee Gees, meraja-lela sekitar dasawarsa 1970-an, di seluruh dunia. Mereka menyihir dengan lagu-lagu manis, suara bening, padu dan lirik yang penuh makna, tak hanya kaum muda, tapi juga anak-anak dan orang-orang tua. Bee Gees, yang berasal dari BGs, mengambil singkatan nama ibu mereka, Barbara Gibb.

Lagu “I started a Joke”, mengisahkan seseorang yang berperilaku dan suka berkata-kata “garing”. Si Garing bermaksud melucu, tapi dunia justru menangis karenanya. Tetapi, ketika dia menangis, dunia malah menertawakannya. Ketika (nanti) dia mati, dunia justru hidup. Ternyata guyonan itu hanya lucu untuk dia seorang diri. Si Garing selalu bersikap dan berperilaku “nggak lucu”. Menyebalkan memang. Barry Gibbs, saudara sulung Gibbs, malah menyatakan bahwa lagu itu, berkisah tentang “setan”, yang selalu bertindak “melenceng” dari kacamata dan persepsi Kebenaran.

Kalau anda terkesan dan berkenan, mari bersama-sama Robin Gibbs dari atas sana, kita dendangkan lagu “Garing”. Sebuah lagu manis, penuh makna dan sejuta cerita.

I Started a Joke

I started a joke, which started the whole world crying,

but I didn’t see that the joke was on me, oh no.

I started to cry, which started the whole world laughing

oh, if I’d only seen that the joke was on me.

I looked at the skies, running my hands over my eyes,

and I fell out of bed, hurting my head from things that I’d said.

Till I finally died, which started the whole world living,

oh, if I’d only seen that the joke was on me.

I looked at the skies, running my hands over my eyes,

and I fell out of bed, hurting my head from things that I’d said.

Till I finally died, which started the whole world living,

oh, If I’d only seen that the joke was on me.

Catatan tambahan :

Robin meninggal karena sakit kanker usus yang kemudian menjalar ke hati. Padahal Robin sedang semangat menyiapkan konser dengan tema klasik berjudul “The Titanic Requiem”, bersama anaknya Robin John. Dia mengalami koma sejak pertengahan April 2012 dan sempat menunjukkan sedikit kesadaran ketika kakaknya, Barry Gibb menjenguk di rumah sakit dan mendendangkan sebuah lirik untuk sang adik. Selamat jalan Robin, meskipun anda sudah tiada, gita nadamu senantiasa memenuhi ruangan rumah dan hati kami.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun