Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Capres

25 April 2014   22:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 76 2
Semula saya menduga dia bercanda.  Tapi titik-titik kesungguhan ada dibalik rona wajahnya yang terus tersenyum.   Membuat saya  ragu-ragu menilai kalimatnya.  Serius atau guyonan.  Mungkin saja benar keduanya.  Idenya serius, tetapi diungkapan dengan nada yang tidak sungguh-sungguh.  Buat saya, yang penting adalah inti dari pesan yang ingin disampaikannya.

"Kalau saja Nelson Mandela lahir kembali, dan menjadi warga negara Indonesia, dan mencalonkan diri menjadi calon Presiden, saya akan vote dia".  Begitu seorang sahabat mengekspresikan pendapatnya, ketika ditanya siapa jagoan dia dalam pemilihan Presiden bulan Juli nanti.

Nelson Mandela memang sudah wafat.   Tak mungkin dia hidup kembali. Apalagi menjadi warga negara Indonesia dan menjadi capres.  Tetapi, mengapa sang teman membayangkan bakalan bisa melihat "Nelson Mandela" menjadi salah satu capres dalam perhelatan demokrasi akbar pertengahan tahun nanti?

Rasanya, tidak hanya dia saja yang sedang galau.  Sekitar 6 bulan ini, bangsa Indonesia dibuat resah dengan adanya pileg dan pilpres.  Tetapi mengapa mesti galau dan resah?  Bukankah itu sebuah pesta rakyat yang seharusnya dirayakan dengan meriah dan gegap gempita?

Mestinya sih begitu.  Itu kalau rakyat mempunyai calon yang bagus untuk mewakili dan atau memimpin mereka untuk 5 tahun mendatang.  Sayang, pilihan bagus menjadi barang langka bagi dia, saya dan mungkin juga anda.   Di lain sisi, "memilih" caleg dan capres rasanya menjadi suatu kewajiban bagi seorang warga negara.  Bahkan bila abstein, diancam neraka oleh  sementara orang, yang katanya mempunyai legitimasi untuk menentukan hitam-putihnya nasib seseorang.  "Aduh, seram amat", begitu kira-kira sang sahabat bereaksi, setelah tahu akan aksioma itu.

Dimulai dari pemerintah incumbent pada pertengahan 2009, dunia politik Indonesia semarak dengan berita-berita ala infotainment yang mengundang decak keheranan para penontonnya.  Hampir semua partai yang anggotanya duduk di parlemen menjadi headline sebagai  peran utama kasus yang diungkap komisi anti rasuah yang bermarkas di Kuningan Jakarta.

Sebetulnya, yang lolos, tak tersentuh, jauh lebih banyak dari itu.  Bahkan dengan nilai yang jauh-jauh lebih besar daripada yang tercatat. Kemudian kesan kuat muncul tak sengaja di benak masyarakat.  "Tidak ada partai yang bersih".  Bahkan salah satu partai yang mengiklankan dirinya "Anti rasuah", terpaksa merelakan 4 dari 5 bintang iklan yang mengatakan "Tidak", masuk menjadi tokoh berita panas di atas.   Yang lain, tokoh parlemen dari partai yang mengaku "bersih dan peduli", malah ngotot membubarkan komisi anti rasuah, sementara pemimpinnya, satu per satu ditangkap hamba wet.  Kesan tadi menjadi bertambah kuat dan melekat dalam benak masyarakat.

Herannya, saat pileg selesai dilakukan, tidak terlihat adanya punishment pemilih terhadap mereka yang bermasalah, dan berasal dari partai yang bermasalah pula.  Salah satu koran nasional bahkan mencatat, mayoritas tokoh bermasalah tetap melenggang ke Senayan.  Mungkin karena mereka tak mempunyai pilihan lain.  Jadi, terus gimana nih?

Kok bangsa Indonesia menjadi sulit belajar dari sejarah?  Atau gampang melupakan hal-hal buruk yang dilakukan wakil dan atau pemimpinnya?  Kalau itu yang terjadi, para moralis akan mengatakan : "Bagus dong, cepat melupakan kesalahan orang lain dan memaafkannya".

Tokoh politik bermasalah silakan bergembira ria karena terus mempunyai kesempatan mendzolimi konstituennya.  Moralis boleh menilai bahwa cepat melupakan dan memaafkan kesalahan orang lain adalah perbuatan mulia.  Tetapi, hukum "reward and punishment", atau "sticks and carrots",  seakan tidak jalan.  Dan proses menuju ke perbaikan nasib bangsa jangan diharap akan bergulir, maju ke depan.  Alih-alih kondisi akan menjadi lebih baik, bisa jadi malahan memburuk.  Itu rasanya sudah menjadi hukum alam, yang harus kita telan dan nikmati bersama.  Mungkin dengan setengah bersenandung, "enjoy aja".

Kondisi ini yang langsung atau tidak telah mengakibatkan mengapa sahabat tadi merindukan Nelson Mandela hadir sebagai salah satu capres.  Mandela rela meringkuk di penjara selama 27 tahun untuk memperjuangkan cita-cita nasionalisme bangsanya.  Setelah bebas, dan dipilih menjadi Presiden Afrika Selatan, hidup buat dirinya telah berakhir, beralih  rupa untuk negaranya.  Sikap kerakyatannya jelas, bukan omong kosong.  Cita-cita membangun bangsa menjadi kristalisasi keringat, darah dan air mata yang harus diperjuangkan bersama seluruh rakyat Afrika Selatan, tanpa membeda-bedakan ras dan warna kulit yang pernah mengkoyak Afrika Selatan.  Sebelum menyatakan ketidak-bersediaan untuk dicalonkan kembali sebagai Presiden perioda kedua, Mandela mengatakan bahwa dirinya bukan dewa.  Saya ingin dikenang sebagai manusia biasa dengan kebajikan dan keburukan yang melekat pada diri saya.  "I do not want to be presented as some deity.  I would like to be remembered as an ordinary human being with virtues and vices".  Mandela tidak merasa suci dengan terus menyalahkan musuh-musuh politiknya.

Padahal, Mandela penuh dengan kenangan pahit saat ditindas pada zaman rezim apartheid.  Tetapi, dia tak pernah menghujat.  Tak terdengar dia menyindir dengan prosa atau puisi, pantun atau syair.  Pantang dia mengungkit kesalahan mereka di masa lalu, atau berorasi dengan nada kebencian yang membakar masa.  Tak terlihat ada dendam dalam hatinya.  "Saya membenci politik apartheid, bukan pribadi pelakunya.  Oleh sebab itu, ketika politik itu hilang, maka kebencian terhadap orangnya juga sirna".

Itulah sebabnya, tak ada Nelson Mandela di pilpres mendatang,   meski teman saya merindukannya.  Saya menasehatkan kepada teman saya, agar dia bebas dari galau dan terhindar dari rasa resah.  Semua capres yang berkompetisi nanti, masing-masing mempunyai virtues and vices.  Mungkin tidak sehebat Mandela.  Atau mungkin bahkan lebih hebat.  Pemilihan Presiden adalah membandingkan.  Jadi, meski Nelson Mandela tidak ada di sana, aktivitas "membandingkan" harus dilakukan.  "Pilihan" harus dibuat.  Karena itu penting untuk menentukan nasib  dia, saya bahkan bangsa Indonesia.  Kualitas capres merupakan cermin masyarakatnya.  Dari masyarakat yang seperti ini, lahir para capres yang seperti itu.  Jadi, dia, saya dan anda menjadi bagian tak terpisahkan dari karut-marut ini.  Jangan seperti ikan yang loncat keluar dari kolam, itu akan membuat anda mati.

Saya pernah dinasehatkan seorang teman yang mahfum tentang ilmu agama, dia saya juluki mas Ustad.  Konon, kalau ada suatu kondisi di mana kebajikan dan keburukan bercampur menjadi satu, pilah yang keburukannya paling kecil, baru cari kebaikannya.  Saya lupa mengejar dari mana mas Ustad merujuk nasehat itu.  Tapi, diam-diam saya mengamininya.   Rumus itu yang akan saya terapkan dalam memilih capres.  Moga-moga saya tidak salah pilih.

Untuk lengkapnya, saya akan kutip bait terakhir dari puisi yang dikarang oleh seorang sastrawan Inggris, W.E. Henley (1849-1903), judulnya : "Invictus" ("Tak Terkalahkan").  "Saya yang menentukan nasib saya sendiri.  Saya yang memimpin jiwa saya".

It matters not how strait the gate,

How charged with punishment the scroll,

I am the master of my fate,

I am the captain of my soul

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun