Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Spanduk

6 Oktober 2014   19:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:11 226 0
Bapak dan ibu saya lancar bercakap dalam Bahasa Belanda. Sayang, saya tak mampu belajar dari mereka. Salah satu sebabnya adalah karena mereka menggunakan Bahasa Belanda untuk membicarakan sesuatu yang tidak boleh diketahui anak-anaknya. Dalam Bahasa Jawa, mereka ngrasani cah-cah nganggo coro londo. Tak ayal, sadar atau tidak, Bahasa Belanda tabu kami pahami.

Sampai sekarang, Bahasa Belanda masih terus membayangi Bahasa Indonesia. Itu karena Bahasa Indonesia disebut sebagai bahasa yang berkembang. Bahasa yang hidup, yang kosa katanya terus bertambah atau berkurang. Lima tahun anda tinggal di luar negeri, akan bengong ketika mendengar kata-kata baru, seperti ejawantah, rekonsiliasi, mitigasi atau pemakzulan. Pengaruh bahasa daerah dan asing sudah, sedang dan akan terus menghidupkan Bahasa Indonesia. Ia terus mencari dan mengganti. Kata-kata baru lahir, yang lama dilupakan orang. Kata yang pernah hilang, muncul kembali kadang dengan arti yang lain.

Apotek adalah salah satu contoh kata yang masih laris untuk digunakan menyebut ‘tempat (rumah) menjual obat'. Ia berasal dari apotheek. Krah (baju) hasil adopsi dari kraag. Kwitansi dari kwitantie, kusen (pintu) dari kozijn. (kacang) Buncis dari boontjes, dan antri diturunkan dari in de rij. Masih banyak lagi, kata seperti akur dari akooord, dan kompor dari komfoor.

Sementara yang berangsur-angsur menghilang diantaranya adalah aubade, dari aubade. Leveransir dari leverancier, kemudian menjelma menjadi pemasok. Makelar dari makelaar, juga sudah banyak dilupakan orang, diganti dengan calo. Inreyen terjemahan bebas dari inrijden. Yang dulu sempat populer, tapi sekarang meredup, adalah, katabelece, yang merupakan serapan dari kattebelletje.

Pernah saya membaca promosi seorang tukang jahit, yang ditulis dalam 3 versi kalimat yang berbeda. "Ahli Vermak Celana Levis", "Ahli Permak Jin", dan "Ahli Fermak Lepis". Ketiga kata, ‘vermak, permak dan fermak', ternyata diambil dari Bahasa Belanda, vermaak, yang konon, secara harafiah artinya hiburan. Karena standar baku tidak dipahami oleh sang kleermakers (penjahit), maka lahirlah bahasa Indo-Belanda dalam wujud berbeda-beda. Tidak Bahasa Belanda, tidak juga Bahasa Indonesia, ketiganya tidak benar secara tata bahasa mana pun.

Kata spanduk juga berasal dari Bahasa Belanda. Ia diadopsi dari spandoek, artinya kira-kira : "Kain rentang yang berisi slogan, propaganda, atau berita yang perlu diketahui khalayak ramai". (http://kamusbahasaindonesia.org)

Karena kemajuan teknologi informasi, komputer dan cetak mencetak, maka kualitas spanduk semakin canggih. Cara membuatnya semakin cepat dan murah. Tak heran kalau spanduk makin banyak betebaran di kota-kota di Indonesia. Tak peduli dengan pemandangan kota yang tambah jorok, menimpali kemacetan, polusi dan sampah yang semakin menjengkelkan.

Isi spanduk sering membuat yang membaca tersenyum sendiri. Kreativitas si pemasang, membuat pesan yang disampaikan terasa menggelitik. Justru yang seperti ini malah membuat informasi menjadi lebih efektif sampai ke masyarakat.

Contoh spanduk jenis ini pernah saya baca di sebuah gang di bilangan Tangerang Selatan. "Mas.... Ojo Ngebut - I Love You". Pesan dikemas dengan damai dan lucu. Lantas, apa hubungan antara ngebut dengan cinta? Tak perlu serius menjawabnya. Yang penting, mereka yang membaca akan mengurangi kecepatan kendaraannya.

Masih jenis spanduk seperti "Ngebut vs cinta", coba simak spanduk yang dipasang di sebuah kompleks perumahan ini.

"Pemulung Masuk :

· Kepala Benjut

· Masih Ngeyel, Kepala Bocor

· Tetep Ngeyel, Rawat Inap/Mati

· Mutilasi"

Meski merupakan ungkapan sadis, namun nada jenaka ada di sana. Saya tak yakin, kalau benar-benar ada pemulung yang terpotong-potong tubuhnya, gara-gara nekad masuk kompleks. Penduduk jengkel dengan pemulung, yang sering susah membedakan mana barang bekas, mana yang masih dipakai. Keduanya dimasukkan ke dalam keranjang mereka. Jadilah ancaman guyon muncul di sana.

Pesan itu mirip dengan spanduk yang dipasang di pagar pinggir jalan oleh "Pengurus RW 12 - Permata Cimahi". Juga ada nada gurau berbaur dengan ancaman.

"Dilarang !!!! - Berani Buang Sampah Disini, Nyawa Taruhannya. - Dibacok Warga, Jangan Salahkan Kami".

Seram bukan? Moga-moga warga di sana tidak sekejam itu. Mungkin hanya sekedar melampiaskan rasa kesal dengan sedikit berlebihan.

Coba amati satu lagi kombinasi guyon dan ancaman yang menggelikan.

"Awas Tikungan Tajam - Setajam Silet. Boleh Ngebut Kalo Punya Nyawa Cadangan. - Dilarang Kecelakaan Disini, Rumah sakit Jauh".

Atau,

"Ojo Apik Wektu Butuh - Lali Wektu Lungguh".

(Jangan baik sewaktu membutuhkan - Lupa sewaktu duduk). Ini jelas sindiran bagi calon anggota DPR, DPRD atau pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat.

Seorang teman bahkan mengoleksi foto-foto spanduk yang salah tulis, dan menggetarkan syaraf tawa yang membacanya. Coba saja simak kedua spanduk berikut :

"Selamat Menunaikan Ibadah Puasa - 1 Syawal 1432H". (Yang dimaksud tentunya : "1 Ramadhan 1432H")

"Seminar Nasional Dan Workshop - Guru Go Blog".

Gara-gara mencampurkan 2 bahasa dalam 1 kalimat, maka pesan, "Guru harus mengenal blog", diplintir orang menjadi "Guru goblog" atau "Guru bodoh".

Banyak juga spanduk yang mengirim pesan politik. Meski nadanya galak, tapi bisa dibaca sambil senyum-senyum masam. Lihat saja ketiga spanduk berikut :

· "Tolak Ahok - Harga Mati".

· "Jaga Pemilu Tetap Damai - Kecuali Kalau Saya Nanti Kalah".

· "Jangan Pilih Gua....! - Gua Pasti Korupsi.

Masalah Banjir & Macet - Loe Pikir Gua Pawang Ujan & Tukang Parkir - Bodo Amat Lah.......!".

Mereka tentunya sedang bercanda. Bahkan yang menolak Ahok pun, tidak sungguh-sungguh mematok harga sampai mati.

Bagaimana kalau nanti Ahok betul dilantik menjadi Gubernur?. Apakah mereka mau bunuh diri atau malah membunuh Ahok? Saya jamin, keduanya tidak bakal dilakukan oleh si penulis spanduk.

Sebagai akhir kisah mengenai spanduk, izinkanlah saya bercerita tentang pemandangan yang saya temui minggu lalu. Ada spanduk aneh, yang dipasang di sebuah mall di Kopo, Bandung Selatan. Mungkin gara-gara tidak laku, managemen mall menggunakan isu agama untuk menarik lebih banyak pengunjung. Simak bunyi spanduk itu :

"Free Parking For Hijabers : 18 August - 17 October 2014 : Monday - Friday".

Saya harus menguras pikiran untuk mencerna maksud dari kalimat yang tertera di sana. Dugaan saya, semua perempuan yang menggunakan hijab, naik mobil atau motor, akan mendapat "imbalan" dalam bentuk parkir gratis. Dalam Bahasa Jawa, parkir gratis bagi pemakai hijab disebut ngiming-ngimingi.

Selain berkonotasi diskriminatif, spanduk tadi berpotensi membelokkan niat beribadah dalam berpakaian menjadi sesuatu yang berbau iming-iming. Isu agama, memang bisa menjadi salah satu cara yang efektif untuk meraih suatu kepentingan. Tapi, kali ini akal-sehat saya mengatakan bahwa promosi itu kontra-produktif.

Bukankah, segala perbuatan kita, haruslah karena Allah ta'ala, bukan karena selainNya.

"Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali jika pelaku amal itu ikhlas dan mencari keridhaan Allah dengannya" (HR Nasa'i)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun