Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Semarang-Bandung

21 November 2014   03:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:16 65 0
Saya sering pulang kampung ke Semarang, dan jalan-jalan ke Bandung. Tapi entah mengapa, perjalanan saya akhir pekan lalu, Jakarta-Semarang-Bandung-Jakarta, mempunyai kesan yang memorable. Meski hanya 3 hari, trip kali ini memaksa saya untuk mencatatnya sebagai perjalanan yang menarik. Tidak hanya jalan-jalan biasa, yang mungkin puluhan atau ratusan kali telah saya lakukan, tetapi by product-nya, saya petik dan simpan, untuk dikenang, kapan-kapan. Meski sederhana, ia menjadi sedikit pelajaran hidup yang memperkaya diri sendiri.

Jumat sore, menjelang petang. Memilih kuliner di Semarang menjadi pekerjaan yang mengasyikkan. Banyak (sekali) pilihan tersebar di sepanjang jalan di kota Semarang. Berbagai jenis makanan tersedia di sana. Tapi yang paling menantang, tentunya masakan lokal. Mulai dari restauran mewah sampai warung sederhana. Dari makanan bintang lima, sampai kaki lima. Keinginan banyak (sekali) untuk mencicipi, tetapi, kapasitas perut membatasi. Ia tak bisa diajak kompromi. Tak bisa dilebarkan atau dipanjangkan. Tapi akhirnya, pilihan jatuh juga.

Warung Gudeg Yu Tum. Digelar di pinggir jalan besar, dekat Pasar Peterongan. Warung tenda sederhana, tetapi malam itu – dan konon juga setiap malam – dipenuhi para pelanggan. Ada 6 mobil berhenti di depannya. Puluhan atau belasan motor diparkir seenaknya. Ada pelanggan yang duduk di warung, banyak yang berserakan di belakangnya, duduk lesehan, atau berdiri menungggu giliran untuk dilayani. Pelanggan Yu Tum tetap sabar, meski harus rela menunggu giliran untuk dilayani.

Warung gudeg biasa-biasa saja, dengan uborampe yang (sangat) lengkap. Krecek, ayam goreng, opor ayam, telor, koyor, empal, jerohan, kikil dan entah apa lagi. Semuanya disajikan dalam baskom-baskom sederhana dengan tumpukan yang menggunung. Yu Tum melayani sendiri pelanggannya dengan duduk di tengah-tengah meja yang penuh dengan makanan, layaknya seorang kapten kapal perang di tengah lautan lepas. Tiga atau empat laki-laki membantunya dengan sigap. Alunan musik pengamen, mengalunkan lagu-lagu Iwan Fals, menghiasi latar belakang malam yang dibasahi gerimis rintik-rintik. Saya memesan nasi gudeg lengkap dengan opor ayam plus segelas jeruk hangat.

Pesanan datang agak mengagetkan. Potongan opor ayam yang lebar dan tebal, menutup hampir seluruh permukaan piring. Tumpukan nasi, gudeg, krecek dan telor, membuat piring itu munjung seperti tumpeng kecil. Salah satu teman membatalkan pesanannya, menyerah sebelum bertanding, karena merasa tak mampu menghabiskannya. Yu Tum membuat kejutan. Saya dibuat “terkenyang-kenyang”. Saya menerima kekalahan ini, 1-0 untuk Yu Tum.

Kejutan kedua datang kembali, ketika mendengar harga yang saya harus bayar untuk sepiring nasi gudeg komplet. Nasi gudeg setinggi gunung-anakan plus jeruk hangat, berharga kira-kira hanya delapan belas ribu rupiah. Itu setara dengan satu setengah dolar. Sulit menghitung, berapa Yu Tum mengambil untung dari sepiring nasi komplet yang dijual ke saya. Dengan celana yang tiba-tiba kesempitan, plus keheranan akan harga yang harus dibayar, kami meningggalkan warung Yu Tum. Lagu-lagu Iwan Fals masih terdengar di sana. “Bento…..Bento….Bento…….”. Skor berubah lagi, 2-0 untuk Yu Tum.

Membayangkan Yu Tum, yang harus bekerja banting-tulang dari siang sampai dini hari, dengan omzet sekitar lima sampai enam juta rupiah per malam, membuat saya semakin melek bahwa sektor informal dari kaum marjinallah yang membuat ekonomi negara ini terus berputar dan tumbuh.

Sebagai seorang (yang mengaku) profesional, saya memang harus malu. Saya menerima gaji setiap bulan untuk kemudian dibelanjakan dengan pola tidak produktif. Sementara Yu Tum, mampu menghidupi 5 pekerja plus kira-kira 10 anggota keluarganya. Belum termasuk effect multiplier yang lahir karenanya, seperti pengamen ala Iwan Fals, tukang parkir, tukang tenda dan pendukung warung lainnya.

Yu Tum bekerja keras 16 jam sehari, sementara di setiap sore hari saya sudah mengeluh berkepanjangan karena kecapaian dan pegal-linu di sana-sini. Yu Tum pejuang dan saya hanya pecundang. Yu Tum pelaku ekonomi kreatif, sementara saya ekonomi pemborosan. Yu Tim menciptakan lapangan kerja, sementara saya menghabiskannya. Yu Tum melayani, saya dilayani. Saya lagi-lagi KO, 3-0 untuk Yu Tum.

Sabtu pagi menjelang siang. Bandara A. Yani, Kalibanteng, Semarang, penuh sesak. Akhir pekan selalu menjadi puncak jumlah penumpang di hampir semua bandara di Indonesia. Menggembirakan, karena itu pertanda denyut ekonomi terus menggeliat. Petugas bandara, formal mau pun informal, hilir-mudik, sibuk menjalankan tugasnya masing-masing. Terlihat antrean (amat) panjang mengular di pintu kedatangan. Beberapa petugas jaga ada di sana, tak terlihat ketat memeriksa penumpang.
Week end menjadi sebab bandara penuh. Tapi antrean panjang terjadi karena pintu gerbang pemeriksaan hanya 1 yang dibuka. Yang lain dibiarkan menganggur tanpa petugas. Petugas jaga menjawab enteng, tanpa rasa bersalah : “Petugasnya sedang makan siang, pak”. Guuubraaak!

Makan siang itu penting. Sangat penting malahan. Tetapi membiarkan penumpang antre panjang dan menunggu sekian lama, jelas bukan suatu pengaturan kerja yang baik. Akhir pekan, penumpang berjubel, antrean panjang, dan makan siang merupakan variabel-variabel yang mudah dikontrol. Oleh karenanya menjadi sangat manageable. Tidak begitu halnya dengan managemen bandara Semarang (dan dugaan saya, juga banyak bandara lainnya di Indonesia), yang membiarkan banyak variabel tadi “berjalan” sendiri tanpa pengawalan. Moga-moga, kita tidak sedang hidup di negara “autopilot”.

Sikap Yu Tum jelas bertolak belakang dengan petugas bandara. Yang satu mampu membuat Semarang selalu berdetak di malam hari, yang kedua cu’ek dan EGP. Yang satu memuaskan, yang kedua mengecewakan. Yang satu menambah nilai, yang kedua menguras nilai. Yang satu mencetak revolusi mental, yang kedua mengabaikannya. Yang satu berasal dari sektor informal, yang kedua petugas pemerintahan, mudah-mudahan ini hanya kebetulan belaka.

Sabtu siang menjelang sore. Bandung basah, tersiram hujan rintik-rintik. Perjalanan Jakarta-Bandung via Cipularang lancar dan menyenangkan. Jarak 150 km ditempuh hanya dalam waktu 3 jam. Pukul 4.00 sore, saya berada tepat di atas jembatan Pasupati. Penginapan, ada di sekitar jalan Sangkuriang, tak jauh lagi dari kami. Paling lama, 30 menit akan tiba di sana.
Tak disangka, tak dinyana, perjalanan berjarak sekitar hanya 1-2 kilometer memakan waktu hampir 4 jam. Bandung Utara, sekitar Dago, macet total. Antrean mobil berhenti satu setengah jam tak bergerak, tak beringsut, di mulut jalan Taman Sari. Petugas tak berdaya, jumlah kendaraan beraneka pelat nomer bercampur-baur, berdesakan bahkan berhimpitan di kota Bandung.

Akhir pekan, hujan gerimis atau lebat, banyak (sekali) mobil luar kota berdatangan, dan banyak perhelatan, adalah variabel-variabel yang dapat diperkirakan, dapat dikontrol. Dus, manageable. Tetapi pengaturan itu belum dilakukan, bahkan oleh Walikota Bandung yang populis, populer dan kreatif, termasuk gebrakannya membuka baju agar tak ditandai sebagai Bebotoh, di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang, saat Persib berlaga di sana. Walikota Bandung yang mencorong karena prestasinya mengatur kota, belum berdaya mengatasi kemacetan lalu-lintas. Belum terdengar rencana mengatasinya. Belum terlihat usaha menguraikannya. Belum terasa perbaikan menguranginya. Bandung kota macet menjadi julukan pengganti “Kota Kembang” dan “Paris van Java”.

Minggu sore menjelang malam. Saat berada di jalan tol Cipularang menuju Jakarta. Terbayang sosok Yu Tum yang perkasa, sedang mengatur warung gudegnya, dengan sikap dan naluri seorang komandan pasukan yang sedang berhadapan dengan musuhnya. Yu Tum bekerja dengan senyumnya, dengan kata-katanya dengan nada rendah dan tertata apik, dengan gerak tangannya, menjumput nasi, gudeg dan opor ayam. Yu Tum bekerja dalam lingkup kecil dan sederhana, dengan spirit dan aura yang berwibawa, dengan kesungguhan hati dan totalitas sempurna. Itulah mengapa Yu Tum hidup dengan bermakna.

It is impossible to have a great life unless it is a meaningful life. And it is impossible to have a meaningful life without meaningful work. (Jim Collins – dosen, konsultan dan penulis banyak buku tentang “Bekerja”, diantaranya yang paling terkenal adalah : “Good to Great”).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun