Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Jurnalis Bermain Bisnis

15 Januari 2023   10:06 Diperbarui: 15 Januari 2023   10:15 273 5


SAYA tak kenal Rama Pratama. Aktivis 98 yang menggulingkan Presiden Soeharto. Saya hanya tahu lewat media. Kala itu.

Rama di barisan depan pasukan Jaket Kuning. Dia Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia. Rama yang membawa draf reformasi ke Ketua DPR/MPR Harmoko.

Sejurus kemudian, Rama menghilang tertelan bumi. Soeharto lengser setelah 32 tahun berkuasa. Rama sempat mendapat teror. Gerak geriknya dalam pantauan intelijen. Termasuk keluarganya. Tempat tinggalnya.

Saya baru ketemu Rama tiga tahun silam. Kami diskusi ringan. Soal politik, sosial, budaya,tata kota dan lainnya.

Rama masih seperti dulu: kritis dan idealis. Ketika dia mau maju sebagai calon Wali Kota Depok. Meski akhirnya mundur di pengujung jalan.

Satu dekade sebelum Rama muncul, ada sosok serupa. Di Kampus Tercinta IISIP, Lenteng Agung, Jakarta. Kami menyebutnya: LA 32. Dia sangat kritis dan berani.

Aktivitis mahasiswa itu bernama Fadil Syukri. Pemikiran Fadil yang kritis terbilang gemilang. Lantang suaranya. Aksinya menyita perhatian mahasiswa.

Saya tidak tahu apakah Fadil salah satu motor penggerak atau bukan. Pastinya, kala itu dia salah satu mahasiswa yang ikut acak-acak ruang sekretariat kampus.

Dia berani menunjuk hidung seorang dosen. Meski akhirnya dibalas saat sidang skripsi. Fadil dicecar dengan pertanyaan yang tajam.

Fadil sempat mendapat teror. Dari oknum tertentu. Pukul 03.00 dini hari, dia diciduk ke suatu tempat. 'Diadili' secara sepihak. Bahkan nyaris digebuki.

Fadil tetap tenang. Keukeh pada sikapnya. Entah dari mana cerita itu menyebar. Sampai ke telinga para pendukung Fadil. Mereka tak terima Fadil dalam ancaman. Kelompok yang menterornya pun diburu. Akhirnya mereka minta maaf kepada Fadil.

Peristiwa itu terjadi pada 21 September 1992. Mahasiswa IISIP mengamuk. Mereka tidak puas terhadap sikap Rektor AM Hoetasoehoet yang memecat para dosen.

Pangkal masalah adalah sang rektor dituduh melakukan skandal seks dengan bawahannya. Tapi di satu sisi bergema: skandal cinta di Kampus Tercinta. Entah mana yang benar.

Tapi, saya tak ingin mengupas kisah lawas itu. Biarlah menjadi bab tersendiri. Tabir gelap dalam sejarah kampus pencetak wartawan andal.

Saya hanya ingin bercerita soal Fadil. Saya kenal Fadil di Ruang Serba Guna. Ketika penataran P4. Dia sosok yang kritis dan cerdas. Dalam menyikapi keadaan sosial dan politik.

Kami sama-sama angkatan 1989. Bedanya Fadil mengambil jurusan humas. Saya memilih jurnalistik.

Tapi, Fadil juga aktif menulis. Dia menjadi freelance atau penulis lepas. Soal apa saja. Di koran Harian Jayakarta, Suara Pembaruan, Aneka, Gadis, dan Mingguan Mutiara.

"Honornya sekitar Rp 20.000 per tulisan. Lumayan buat ukuran mahasiswa ketika itu," kata Fadil bersilaturahim ke gubuk saya di Depok, pekan lalu.

Itu pertemuan pertama kami setelah 34 tahun silam. Saya melihat tak ada yang berubah dari Fadil. Enak diajak bicara. Datar suaranya, tapi berisi. Ayah dari dua putri ini wawasannya luas.

Satu hal yang saya kagumi. Dia tetap kritis dan idealis. Kadang masih suka menulis. Kalau tangannya terasa gatal. Untuk menuangkan pemikirannya. Meski mengaku sudah pensiun dari dunia wartawan.

Saya tak ingin mengorek lebih dalam kenapa dia meninggalkan dunia jurnalistik. Tapi saya yakin dia telah kalkulasi sebelum mengambil keputusan.

Sebelumnya dia pernah bekerja di media Properti Indonesia, Bussines Development Manager di PT Binasarna Media, Publishing Coordinator di Infomediatama dan Harian Jambi.

"Saya banting setir dari jurnalis setelah reformasi. Ketila tabloid menjamur dan dijadikan alat politik menebar fitnah. Saya nggak bisa ikut arus," ungkapnya memberi alasan.

Fadil lalu bekerja sebagai program koordinator untuk penempatan tenaga perawat ke Kuwait,  Saudi Arabia,  dan Australia di Perusahaan PJTKI-Binawan.

Kini Fadil bermain di kuliner: pempek. Bersama istrinya: Yulis Hartati. Wanita yang cantik dan setia mendampinginya sejak 2001. Dia lulusan Administrasi Pajak Universitas Indonesia.

Yulis dulu kerja di konsul pajak, Deloite. Sejak 4 terakhir jadi ibu rumah tangga sambil berbinis kuliner (brownies & cookies).

"Alhamdulillah. Sekali buka PO 70 paket,  dan buka PO, 2 x seminggu," ujar Fadil yang merambah dunia kuliner setelah dilanda badai covid-19.

Tidak ada yang salah dengan pilihannya. Hidup ini memang pilihan. Terpenting bagaimana menekuninya. Niscahya akan menuai sukses. Saya percaya kerja keras tak akan mendustai hasil.

Seperti Rama Pratama. Dari aktivis berlabuh ke dunia politik dan wiraswasta. Berawal dari partai PKS kini berganti partai Gelora.

Rama dan Fadil dua figur yang akhirnya memilih jalan berbeda. Tapi memiliki cerita yang indah dalam hidupnya. Sukses bro Fadil yang kini bermain di dunia bisnis.*

Suryansyah
Sekjen Siwo PWI Pusat
IISIP Angkatan 1989

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun