Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Perkosaan Anak, Salah Orang Tua

14 Juni 2011   01:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:32 256 0
Seorang sahabat menelponku, bercerita sambil menangis, " Anakku jadi korban tindak asusila..". Kata-katanya tak dilanjutkan, hanya sedu sedan yang memilukan. Beberapa saat kami hanya diam, remuk dan kecut hati menghadapi rusuhnya zaman.

Usianya  masih 4 tahun, perempuan, panggil saja dia ciki (bukan nama asli). Lucu, cantik, menggemaskan. Meskipun kedua orang tua ciki  bekerja, mereka bisa menjadwalkan untuk bergantian menjaganya di rumah. Tinggal  di perumahan sederhana padat penghuni,demi keamanan  mereka juga sudah membuat pagar rumah dengan gembok.

" Pelakunya sudah mengaku, tapi masih berkeliaran bebas di sekitar komplek, tak punya malu!", esok harinya dia menelponku lagi, kali ini dengan nada penuh emosi, sakit hati. " Aku cuma mau keadilan, dia dihukum setimpal dengan perbuatannya!". " Coba bayangkan, bagaimana masa depan ciki nanti, rusak sudah...". Aku tunggu dia sampai selesai meluapkan emosinya, cobaannya kali ini memang sungguh berat. Belm tentu jika menimpaku, bisa tertanggungkan.

" Sudah mengaku?,orang mana?", pelan-pelan saja kutanyakan. Dia menghela nafas panjang ," Ciko, usianya 8 tahun, kelas 2 SD, tetangga kami satu komplek!". Langsung, dalam diam aku mereka-reka banyak hal, ah kacaunya dunia kita. " Bagaimana ini, aku sudah lapor polisi dan visum seperti saranmu. Kata polisinya karena pelakunya masih anak-anak, diupayakan diversi atau restorative justice, mengupayakan perdamaian dari pada dilanjutkan hingga ke proses pengadilan. Ah, keenakan sekali dia!"

Ya, aku sudah cek di Undang-Undang Perlindungan Anak, meski melakukan tindak pidana, anak-anak tetap perlu mendapatkan perlindungan hukum.Tapi bagaimana ya menyampaikannya. "ehm..memang hak itu harus dituntut, tapi dalam prosesnya tidak boleh melanggar hak orang lain, sekalipun itu pelaku. Anak tidak bisa disalahkan 100% atas tindakan yang dilakukannya."

Kembali tidak ada suara di penghujung telpon, aku beranikan bicara lagi," kalau memang mau proses damai, sekarang ajukan tuntutan ganti rugi materi maupun immateri". Terdengar dengusan ," tidak! aku tidak mau minta ganti rugi, itu sama saja menjual anakku!". Lalu telpon mati.

Aku coba memahami perasaannya. Tapi hati-hati kususun kalimat, kukirim via email  padanya:

Ganti rugi materi, memang tidak bisa mengganti yang immateri. Tetapi, bagaimanapun harus dituntut. Ke psikolog, tentu butuh biaya, pindah rumah (sangat disarankan, agar memori korban benar-benar tidak terstimulus untuk mengingat peristiwa tsb) juga butuh biaya. Menjual anak?, itu yang kadang digunakan pelaku agar korban tidak meminta ganti rugi. Pertimbangkanlah.

Aku klik  send, pikirku menerawang, krisis apapun yang terjadi di negeri ini, sungguh tidak perlu menunggu itu terjadi pada diri sendiri atau orang-orang terdekat kita.

Epilog

Ciki, mulai terlihat jadi lebih garang dan gampang marah. Kadang -kadang tatapannya kosong, dan banyak diam. Ibunya, tidak memperbolehkan dia keluar rumah, antisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka berencana pindah rumah, setelah proses diversi selesai.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun