Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Wajar, Perempuan tidak Punya Cita-cita!

13 Juni 2011   14:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:33 267 0
Kebanyakan perempuan, jarang mengungkapkan cita-citanya, apalagi berkaitan dengan dimana kelak dia tinggal. Cobalah tanyakan, jawabannya akan sangat berhati-hati. Sebab, pun ini hanya sebuah cita-cita, dia harus mempertimbangkan banyak hal, salah satunya bagaimana musti mengkompromikan dengan cita-cita suaminya kelak.

Iseng-iseng, kalau saya ngobrol sama kawan-kawan, saya sempatkan bertanya tentang cita-cita atau mimpi-mimpi mereka. Dari kebanyakan kawan laki-laki, lebih mantap dan pasti mengungkapkan cita-citanya. Mereka kemudian-- bahkan akan menjelaskan detail rencananya, dari bagaimana mengembangkan karir sampai dimana mereka kelak akan tinggal setelah berumah tangga.

Bedanya dengan kebanyakan kawan-kawan perempuan, sepertinya ada semacam keraguan dalam jawabannya dan terkesan tidak pasti. Beberapa jawaban yang sering saya peroleh, diantaranya:”mimpiku ?, kalau sekarang sih jadi “x”, tapi kalau nanti ya ndak tahu, tergantung suami deh”, “penginnya sih tinggal di desa aja, biar lebih tenang. Tapi kalau suami menghendaki lain ya gimana lagi?, sudah semestinya kan istri ikut suami?”.

Kelihatannya hal ini memang sepele, tapi ternyata efeknya tidak main-main. Saya tidak akan bicara seksis, ini berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Seseorang yang mempunyai impian jelas, dia akan mempunyai rencana yang jelas pula untuk mewujudkannya. Sedangkan orang yang tidak mempunyai impian yang jelas, tentu tidak akan melakukan usaha-usaha secara maksimal untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.

Dalam konteks perempuan, bahaya tidak punya impian atau cita-cita yang jelas, berakibat pada krisis eksistensi diri. Bahwa dia sebagai perempuan tidak seutuhnya menjadi diri sendiri. Turut andil besar adalah paham ‘suargo nunut neroko katut’, artinya istri dinilai bukan karena individunya tetapi kedudukan suaminya.

Turunannya adalah sebuah ketergantungan, ketidakmandirian perempuan. Bagaimana tidak, pola pikir yang terbentuk adalah segala sesuatu tentang istri sudah menjadi tanggung jawab suami, jadi harus apalagi, ngapain musti repot-repot berusaha?.

Dalam faktanya, banyak sekali kasus-kasus dalam rumah tangga yang justru berupa pengabaian kewajiban suami terhadap istri. Dan mirisnya, istri kadang tidak bisa keluar dari masalah tadi disebabkan oleh ketidak berdayaannya secara ekonomi. Belakangan diidentifikasi , ketidakmandirian ekonomi istri juga sangat rentan sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam rumahtangga.

Pun demikian, ketidak mandirian perempuan tidak bisa ditimpakan sepenuhnya sebagai kesalahan perempuan. Berbagai internalisasi sebagai ‘the second sex’ terhadap diri perempuan terjadi sejak ia masih di dalam kandungan. Dan naif, jika kita menafikan legislasi yang menyebabkan perempuan terpinggirkan secara ekonomi. Taruhlah salah satu pasal dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga, ternyata berdampak negatif terhadap penentuan skala gaji, pembuatan dan pemutusan hubungan kerja, kesempatan promosi dan hak-hak atas tunjangan dari para perempuan pekerja. Apapun bentuknya, ketergantungan sangatlah rentan menyebakan terjadinya ketidakadilan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun