Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Heidegger Vs Husserl

14 Mei 2015   21:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02 872 1



Tulisan ini memang susah... sangat-sangat susah. padahal permasalahannya sepele. yakni mau ngomongin apa itu . kalau ditanya apa itu mobil? apa itu prostitusi? apa itu kancil? orang masih membicarakannya. namun kalau apa itu , yah kita harus bersiap-siap mengerutkan dahi. Nah Husserl dan Heidegger ini ngomongin soal ada namun dengan cara pandang yang berbeda.
Persoalan Filsafat Heidegger Vs Husserl


Heidegger berpendapat bahwa filsafat telah melupakan pertanyaan mengenai . Baginya, Husserl, gurunya, dengan membedakan ontologi regional dan ontologi formal telah ikut dalam arus tersebut. Sedangkan Heidegger, membedakan ontologi regional dan ontologi “lain” yang bukan ontologi formal, yakni ontologi sebagai penyelidikan atas makna . Baginya  makna tidak bisa diatasi hanya dengan menggunakan konsep untuk menyingkapkannya. Dengan kata lain pada dirinya sendiri dapat dimengerti dengan metode yang lain, metode itu adalah fenomenologi. Oleh karenanya, adalah tugas fenomenologi untuk mengatasi “keterlupaan” tentang .


Bagi Husserl, dengan menyatakan bahwa fenomenologi bertugas menyingkapkan pertanyaan mengenai ada, Heidegger telah gagal menangkap radikalitasnya. Kenapa? Semua objektivitas berorientasi pada ilmu pengetahuan, dan hal itu hendak diterapkan pada ontologi oleh Heidegger. Fenomenologi adalah bentuk investigasi kesadaran. Kesadaran yang dimaksud bukan kesadaran sebagai objek pengetahuan ilmu psikologis melainkan kesadaran murni (transendental). Kesadaran murni adalah intensionalitas, yakni kesadaran dari sesuatu sebagai sesuatu. Istilah “dari sesuatu” mengandung arti bahwa kesadaran sebagai subjek sudah senantiasa terarah keluar, sedangkan objek sudah selalu memberikan dirinya dengan kepastian “isi” atau makna kepada subjek. Fenomenologi menjadi analisis mengenai bagaimana isi berkonstitusi lewat tindakan kesadaran dan sintesisnya. Menurut Husserl, penyelidikan ontologis mengandaikan ilmu pengetahuan kesadaran transendental.


Untuk menjawab makna mengenai ada , pertama-tama Heidegger menanyakan dalam kondisi yang mana ada itu mempunyai makna. mempunyai makna hanya di dalam yang memiliki pemahaman mengenai . yang dimaksud adalah daseinDasein tidak sama dengan kesadaran psikologis, tetapi dasein juga tidak ekuivalen dengan kesadaran transendental. Heidegger juga mengakui bahwa kesadaran fenomenologi Husserl adalah mungkin, tetapi Ia menolak “analisis deskripsi intensionalitas dalam apriorinya” Hussrel. Suatu kerangka apriori dalam intensionalitas justru memungkinkan adanya “residu” dari penyingkapan objek, karena mungkin saja masih ada bagian dari objek yang belum tersingkap.  Kesadaran menurut Heidegger memiliki basis ontologis sebagai “ada di dalam dunia” (being-in-the-world). Dengan ontologi fundamental Heidegger akan menunjukan bagaimana struktur being-in-the-world membentuk kesadaran dalam pengertian Husserl.


Problem intensionalitas Husserl mengenai bagaimana sebuah objek transenden dapat berada “di sana” bagi kesadaran diatasi oleh Heidegger dengan pemahaman mengenai transenden ontis. Makna suatu entitas tergantung dari sebuah transendental ontologis yang dinamai dasein yang being-in-the-world. Kesadaran objek adalah mungkin, dikarenakan dasein melebihi pengada-pengada sebagai keseluruhan menuju adanya. Ia mampu mengerti , oleh karenanya dapat menampakkan dirinya kepada dasein seperti adanya mengada-mengada. Dengan demikian isi intensionalitas tidak dapat dimengerti sebagai fungsi kesadaran sendiri tetapi merupakan derivasi dari struktur being-in-the-world sebagai keseluruhan, yang memungkinkan pemahaman tentang .


Selanjutnya Heidegger merumuskan posisinya terhadap pandangan Husrell mengenai individualime, rasionalisme, dan internalisme di kontraskan dengan pandangannya tentang struktur-struktur being-in-the-world. Pertama, mengenai individualisme, Heidegger memandang bahwa Husserl telah jatuh pada solipsisme. Hal tersebut dikarenakan meskipun Husserl mengenali penyebab dari isi intensional yang mengacu pada sebuah komunitas ego dalam intersubjektivitas transendental, intersubjektivitas tersebut harus pada dirinya sendiri di konstitusikan oleh sebuah ego. Dengan kata lain ego individu masih merupakan landasan satu-satunya bagi isi intensional. Heidegger setuju bahwa isi intensional harus memuat referensi dari sebuah komunitas ego. Tetapi bukan berarti bahwa isi intensional dikonstitusikan dari individualitas. Sebagai being-in-the-worl, “saya” sudah selalu ada-dengan-yang-lain. Itu artinya bahwa yang menjadi masalah bukan mengenai bagaimana komunitas ego (dunia sosial) dapat dikonstitusikan dari kesadaran tertutup saya (monad), tetapi justru bagaimana menjelaskan individualitas itu mungkin. Bagi heidegger individuasi bukanlah yang utama bagi dasein, melainkan salah satu cara berada dasein. Salah satu cara berada dasein adalah das man. Das man adalah dasein yang mengada dengan larut dalam keseharian. Das man hidup dalam anonimitas. Ia tidak membedakan dirinya dengan orang lain.


Kedua adalah rasionalisme. Rasionalisme yang penulis mengerti adalah pandangan yang menyatakan bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi/rasio/kesadaran. Dengan kesadaran transendental sebagai penangkap makna dari apa-apa yang nampak, Husserl dalam pandangan Heidegger masih jatuh pada rasionalisme. Kesadaran transendental masih merupakan dasar utama bagi diperolehnya suatu pengetahuan mengenai . Heidegger mampu mengatasi rasionalisme. Bagi Heidegger, being-in-the-world tidak sama dengan idea tradisional subjektivitas sebagai kesadaran individual. Pemahaman mengenai pertama-tama bukan disebabkan oleh rasio atau kesadaran individual tetapi pemahaman diperoleh, sebagai being-in-the-world, dari praktik keseharian dasein. Lebih lanjut, dasein adalah kepedulian (sorge) yang dengannya memungkinkan pemahaman tentang . Dengan pemahaman tersebut, Heidegger tidak mau jatuh dalam rasionalisme.


Ketiga adalah internalisme atau representasionalisme. Heidegger menganggap bahwa kesadaran sebagai dasar intensionalitas Husserl masih mengandung representasionalisme. Mengapa? Hal itu dikarenakan dalam pandangan Heidegger keterbukaan dasar manusia terhadap dunia ditafsirkan sebagai suatu forum internal yang mempunyai hukum dan strukturnya sendiri. Husserl menggunakan istilah “noema” yakni ide bahwa diberikan dengan cara “noemata” atau penginderaan. Lantas, noemata itu adalah sudah imanen dalam kesadaran. Dengan bahasa yang lebih mudah, “noema” itu merupakan sesuatu yang berfungsi untuk menstrukturkan apa-apa yang menampak kepada kesadaran. Noema menjadi suatu fondasi bagi pemahaman mengenai yang menampak, sehingga tidak lagi nampak dalam keseluruhan potensi penampakannya, tetapi justru dibatasi oleh penginderaan/”sense” yang imanen dalam kesadaran. Itu mengapa Heidegger memberikan “cap” kepada Husserl sebagai representasionalis dan menolak teori “neoma”. Sedangkan Heidegger menyatakan bahwa pemahaman dasein mengenai ekuivalen terhadap ketersingkapan (disclosedness) atau pewahyuan dari entitas-entitas. Itu artinya dalam menerima pewahyuan dasein tidak lagi melakukan representasi atasnya. Keterbukaan atau intensionalitas tidak dipahami dalam artian keterbukaan yang didasarkan pada kesadaran, tetapi keterbukaan yang tergantung pada transendensi dasein yakni ketidaktersembunyian dari being-in-the-world. Ketidaktersembunyian adalah hal dari ketiga aspek yang setara dengan adanya dasein yakni: pemahaman, disposisi, dan wacana. Pemahaman disposisi dan wacanalah yang memungkinkan dasein terbuka kepada . Menurut Heidegger, ketiganya adalah dasar intensionalitas atau keterarahan pada . Dasar itu bagi Husserl tidak dianggap sebagai dasar dalam pemikiran Husserl.


Metode Filsafat Husserl Vs Heidegger


Pada bagian ini hendak dipaparkan perbedaan maupun kesamaan metode filsafat antara Heidegger dan Husserl. Metode tersebut adalah  reduksi eidetic, reduksi fenomenologis, dan reduksi transendental dan sejauh mana mempengaruhi metode filsafat Heidegger.


Filsafat, bagi Husserl adalah sebuah disiplin apriori, filsafat bukan empiris. Filsafat adalah ilmu pengetahuan mengenai esensi. Fenomenologi memulai dengan mengambil contoh dari pengalaman, tetapi tujuannya bukanlah sebuah deskripsi lengkap darinya. Fenomenologi mencari insight ke dalam esensi dari sesuatu (eidos). Proses untuk sampai pada esensi dari sesuatu (eidos) oleh Husserl disebut reduksi eidetic. Bagi Heidegger pengetahuan filsafat adalah eidetic. Heidegger tidak memberikan penjelasan dengan apa suatu insight ke dalam struktur esensial diperoleh. Akan tetapi, dengan mengatakan bahwa analisanya mengenai “keseharian umum (average everydayness) akan menyingkapkan tidak hanya yang aksidental tetapi juga yang essensial Heidegger sebenarnya “tidak jauh-jauh” dari konsep reduksi eidetic.


Reduksi fenomenologis juga disebut sebagai epocheEpoche secara harafiah dapat diartikan sebagai penangguhan putusan. Di dalam reduksi fenomenologis, epoche berarti menangguhkan segala pengandaian kita terhadap dunia. Hal itu jelas karena bagi Husserl pengetahuan filosofis dibedakan dengan pengetahuan yang lain. Dengan demikian untuk mendapatkan pengetahuan filosofis, segala pengandaian atau konsep-konsep dari disiplin ilmu yang lain ditangguhkan dahulu, ditempatkan dalam “tanda kurung”. Heidegger menolak reduksi fenomenologis, tetapi menurut Crowell posisi Heidegger dan Husserl tidaklah berbeda jauh.


Reduksi fenomenologis juga dapat disebut sebagai mengurung . Dengan demikian, Husserl mau menfokuskan metodenya pada fenomen dari . Dengan memfokuskan pada fenomen ia tidak mau jatuh pada klaim bahwa adalah ada bagi dirinya sendiri, melainkan di mengerti sebagai yang selalu memberikan dirinya. Ada dalam dirinya sendiri tidak mensyaratkan adanya intensionalitas. Dari hal itu semakin kelihatan perbedaan penekanan filsafat Heidegger dengan Husserl, Husserl tidak berpretensi menggunakan fenomenologi untuk menyelidiki , sedangkan Heidegger dengan fenomenologi hendak “bermetafisika”.


Reduksi transendental adalah reduksi di mana kondisi-kondisi fenomena tersingkap. Kondisi ini terletak dalam kesadaran absolut, sebagai konstitutor semua sebagai fenomena. Heidegger menolak hal ini, tetapi masih mengambil apa yang baik dari reduksi transendental Hussrel. Fenomenologi bagi Heidegger adalah untuk memahami . Sedangkan bagi Hussrel fenomenologi adalah untuk menangkap fenomen tidak lagi dari penglihatan natural manusia tetapi dari kesadaran pengalaman-pengalaman noematic. Dengan reduksi transendental kesadaran mampu memahami sesuatu sebagai fenomena (objek sebagai fenomena)


Lebih lanjut, dari penjabaran perbedaan antara reduksi menurut Heidegger terhadap Husserl, timbul pertentangan dalam memandang eksistensi dunia. Hussrel menganggap adanya dunia bersifat relatif terhadap kesadaran. Artinya bahwa kesadaran tidak memerlukan sesuatu yang “real”. Sedangkan Heidegger ketiadaan dunia tidak bisa dipikirkan. Karena pemahaman mengenai tergantung pada ada di dalam dunia. Pada titik inilah menurut Crowell Hussrel dan Heidegger berpisah secara metode.


Kesimpulan dan tanggapan


Dalam “filsuf jagoan” edisi ke-3, digambarkan Anaximenes menganggap bodoh Anaximandros, gurunya, karena memandang air sebagai prinsip utama. Menurut pengarang buku, kisah itu adalah awal dari “tradisi” filsafat di mana murid selalu mengkritik gurunya demi menekankan orisinalitas pemikirannya. Akan tetapi, setiap pemikiran filsafat senantiasa dipengaruhi oleh pemikir sebelumnya. Dalam uraian paper ini, Heidegger tetap tidak masuk sebagai pengecualian.


Heidegger dan Hussrel adalah berbeda dalam pokok filsafatnya. Heidegger hendak bermetafisika sedang Hussrel tidak sedang mencari makna tetapi lebih kepada membangun suatu epistemologi yang baru. Husserl telah memberikan landasan bagi episteme baru yakni dengan Intensionalitas. Intensionalitas Husserl selangkah lebih maju daripada rasionalisme Cartesian. Kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu. Kesadaran adalah intensionalitas, keterbukaan kepada sesuatu. Heidegger berpijak pada intensionalitas dalam filsafatnya. Dasar intensionalitas adalah dasein, sedangkan pada Hussrel adalah kesadaran. Kesadaran bagi Heidegger tidak lagi sekadar kesadaran akan sesuatu, melainkan kesadaran di salam sesuatu atau sebagai sesuatu. Oleh karena itu, Pemikiran Heidegger walaupun berbeda dengan Hussrel baik mengenai persoalan filsafat dan metodenya memiliki  beberapa kemiripan.


Pengetahuan filsafat Hussrel dan Heidegger, memberikan cakrawala baru dalam memandang dunia, terutama dunia yang ditandai dengan semangat materialisme dan positivistisme saat ini. Dunia menawarkan, kalau tidak bisa disebut “memaksa”, kebenaran yang hanya bisa diakui lewat metode-metode positif yang mutlak. Metode dianggap sebagai kebenaran dan melupakan dunia dan kesadaran yang dihayati. Cara pandang dunia yang seperti itu, menurut penulis telah mereduksi dunia dan manusia sendiri. Ada suatu kisah, “Suatu ketika Si Bambang sedang jatuh cinta. Dadanya berdebar-debar ketika bertemu Rani teman sewaktu SMA-nya yang kini menjadi dokter. Bambang kemudian berniat untuk menyatakan cintanya. Tetapi sebagai basa basi, pertama-tama Bambang memberitahu Rani bahwa dadanya berdebar-debar. Dengan sigap Rani lantas mengambil stetoskop dan memeriksa dada Bambang dan mendapati bahwa menurut denyutan dada Bambang, Bambang menderita tekanan darah tinggi. Dengan kata lain, Rani salah memahami debar jantung yang sebenarnya adalah perasaan jatuh cinta”. Di dalam contoh itu, dengan metodenya Rani telah mereduksi debar jantung dengan metode kedokterannya. Oleh karenanya, Ia tidak menangkap “kebenaran yang lain” yang dihayati. Rani secara tergesa-gesa menyimpulkan dengan konsep yang dimilikinya. Di dalam fenomenologi Husserl, segala pengandaian dikurung dan objek dibiarkan menampakkan dirinya sehingga diperoleh pemahaman sesuai dengan kesadaran subjek. Dengan fenomenologi Hussrel, menurut penulis, manusia kembali dimanusiakan.Hei

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun