Dayak bagi sebagian orang Indonesia masih menjadi misteri. Djongkang atau yang lebih dikenal dengan Jangkang bagi sebagian orang Dayak masih misteri. Sehingga saat saya menyatakan hendak menikah dengan gadis Jangkang membuat beberapa orang teman yang juga orang Dayak, selalu berpesan “hati-hati dengan kepala koko” hehehe.
Kejam. Sadis. Berani. Hebat. ini beberapa komen tentang orang Jangkang (Djongkang) yang saya dengar langsung. Stereotif ini tidak sepenuhnya benar. Memang sejak dahulu daerah Jangkang terkenal sebagai untouchable termasuk oleh penjajah Belanda dan Jepang karena mereka terkenal berani jika bertempur. Sebut saja Macan Gaink, kemudian digantikan oleh Macan Luar dan Macan Natos adalah ksatria Jangkang yang terkenal sakti dan berani. Julukan macan itu bukan diberikan kepada sembarang orang. Hanya pemimpin yang sudah mumpuni yang bisa menyandangnya. Salah satunya adalah kakek istri.
Sejarah dan perkembangan orang Jangkang yang sebagian besar berdasarkan sumber lisan sudah tercatat dalam buku. Jangkang sendiri tidak pernah lepas kaitannya dengan Kerajaan Sanggau yang saat ini menjadi salah satu kabupaten di Kalimantan Barat. Walau tidak secara telak tercatat Karl Helbig, penulis Jerman, mencatat subsuku dayak di kerajaan Sanggau yang terkenal gagah berani dalam peperangan adalah Jangkang. Merekalah headhunting yang sebenarnya.
Headhunting atau berburu kepala atau yang lebih dikenal sebagai pengayauan. Ngayau berasal dari kata kayau yang berarti musuh. Mengayau adalah perbuatan dan tindak budaya mencari kepala musuh. Perlu diberikan catatan pada apa yang dimaksud dengan tindak budaya. Kedengaran aneh bagi telinga masyarkat modern sekarang ini. Tetapi jika kita mendalami budaya Dayak akan segera mafhum dengan tradisi ini. Prinsip pengayauan atau pemburuan kepala manusia yang harus dijunjung, jika prinsip ini dilanggar bisa berakibat fatal. Macan Gaink yang terkenal sakti sendiri tewas secara tragis karena melanggar adat pengayauan.