Bagi orang Dayak perang bukan perkara kecil. Perang berarti melibatkan semua unsur dalam suku. pada masa lampau suku Dayak hampir terlibat perang secara terus-menerus sesama suku mereka. Pengayauan dan pertarungan individu sudah umum terjadi pada masa itu. Ini dicatat oleh baik oleh ilmuwan dan serdadu kompeni.
Atas prakarsa Kompeni yang sering kesulitan menghadapi perlawanan sporadis orang Dayak maka terjadilah pertemuan Tumbang Anoi tahun 1894. Disitulah terjadi persatuan orang Dayak untuk menyepakati beberapa hal, diantaranya “penyeragaman hukum Adat dan penghentian Pengayauan kepala manusia. Tetapi hal yang terpenting adalah tumbuhnya rasa persatuan orang Dayak di seluruh Kalimantan (termasuk British Borneo). Setelah Pertemuan Tumbang Anoi peperangan (tepatnya kayau-mengayau kepala manusia) antara orang Dayak jauh berkurang. Tetapi filosofi berperang tidak jauh berubah.
Peperangan juga tidak spontan dilakukan tetapi setelah mereka menilai ada orang sudah melecehkan adat Dayak. Bagi orang Dayak peperangan berarti peperangan yang meliputi semua anggota suku dan semua anggota suku lawan. Untuk itu dibutuhkan ”mangkok merah” untuk mengajak semua orang Dayak ikut bertempur. Penyebaran mangkok merah sebagai tanda semua elemen Dayak untuk ikut.
Bagi orang Dayak peperangan itu harus menjalani ritual tertentu dan tidak semua orang bisa ikut berperang. Hanya orang yang lolos ujian tertentu yang bisa turut berperang. Setelah melalui proses penyeleksian, Maka pasukan terpilih harus mengikuti upacara pemanggilan “Kamang Tariu” untuk memberi kekuatan dan keberanian kepada semua pasukan dalam berperang. Sehingga tidak heran dalam beberapa peristiwa bentrokan besar ada teriakan “Kamang Tariu” yang sulit ditirukan pada saat normal. Prosesi ini juga harus dipimpin oleh dukun senior yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya.
Dalam kondisi ini Pasukan Dayak siap diterjunkan kedalam medan peperangan. Mereka siap berperang dengan segenap kemampuan. Bagi orang Dayak pengaruh Shamanisme kuat, terutam pada masa lalu, mempunyai kepecayaan jika musuh yang meninggal harus dimakan “hatinya” supaya roh korban tidak mengganggu, sehingga kasus ini terjadi pada beberapa peristiwa. Pasukan yang berperang juga harus mau melakukan beberapa hal seperti tidak mengambil barang atau harta kekayaan musuh serta tidak boleh memperkosa wanita. Jika dilanggarkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kalah dalam perang atau hilang kekebalan dan lain sebagainya.
Salah satu contohnya dalam Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari, sebuah kapal perang Belanda yang disergap oleh Pasukan Dayak yang membantu perlawanan, semua personil Kompeni habis dikayau kepalanya. Tetapi kasus saat itu belum dikenal mangkok merah dan persatuan orang Dayak tidak seperti sekarang.
Peristiwa di Pontianak dan Palangka Raya beberapa hari yang lalu belum dapat dikatakan sebagai Perang bagi orang Dayak. Mungkin hanya kategori perkelahian spontan.
Sumber:
Edi Petebang. Dayak Sakti : Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah, Institut Dayakologi , Pontianak
J.U. Lontaan, Hukum dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, Pemda kalimantan Barat 1969
Giring, Madura Dimata Dayak, Galang Press, Yogyakarta, 2004
Wawancara (obrolan santai) dengan beberapa sumber orang Dayak