Setelah “Peristiwa Mandor Berdarah” membuat posisi Suku Melayu kehilangan banyak pemimpin dan kondisi memungkinkan Dayak naik jadi pemimpin Kalimantan Barat. Tetapi kepimpinan Oevang Uray yang singkat tidak bisa membuat Dayak mampu mengisi level birokrasi di Kalimantan Barat karena Dayak Sendiri tidak cukup mempunyai kader berpendidikan. Lulusan SMA pertama orang Dayak terjadi pada tahun 1953, yaitu A.R Sampe dan Iman Kalis. Tradisi bersekolah DAyak masih sangat rendah. Setelah Oevang Uray tidak ada kesempatan orang Dayak dalam memimpin Kalimantan Barat.
Kepimpinan Kalimantan Barat diisi oleh orang Jawa, khususnya militer. Jajaran birokrasi segera diisi oleh orang luar Kalimantan dan Melayu karena orang Melayu mempunyai tradisi bersekolah yang lebih kuat. Selain itu karena kesamaan agama dengan pemimpin Kalimantan Barat yang baru. Membuat posisi orang Dayak semakin lemah dalam birokrasi Kalimantan Barat. Selain itu turunya Iman Kalis hanya menjadi guru, sebelumnya dijanjikan menjadi Rektor APDN Kalimantan Barat, memperburuk kondisi ini.
Orang Dayak semakin termarginal dengan adanya HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Transmigrasi dan pembukaan perkebunan membuat orang Dayak semakin terpinggirkan secara ekonomi dan budaya.
Pada masa menjelang reformasi, pemerintah pusat merasakan keresahan dikalangan Dayak sehingga membuat keputusan untuk menaikkan Dayak menduduki posisi bupati. Tetapi kondisi ini dihalangi oleh jajaran legislatif yang mayoritas bukan Dayak. Seperti pencalonan L.H Kadir di Sintang yang membuat orang Dayak melakukan protes. Tidak ingin kecolongan pemilihan di Kapuas Hulu, pemerintah pusat menetapkan calon hanya dari golongan orang Dayak.
Setelah masa reformasi, dimana demokrasi dan keterbukaan mulai dijalankan membuat kesempatan orang Dayak untuk turut berpartisipasi terbuka lebar. Tuntutan pemekaran daerah merupakan pembagian wilayah secara etnis. Dayak menunjukan eksistensi dengan berhasil menduduki jabatan legislatif. Hal ini tidak serta merta mampu meloloskan jadi menjadi kepala daerah. Sehingga ketegangan pun terjadi. Ketegangan juga sempat terjadi saat pemilihan anggota MPR utusan daerah yang sebelumnya disetujui 5 utusan daerah (2 Melayu, 2 Dayak dan 1 Tionghoa). Tetapi Dayak hanya satu yang lolos. Ternyata perjuangan Dayak masih tidak mudah selama masa reformasi.
Resensi buku Regime Change and Etnic Politics in Indonesia : Dayak Politics of West Kalimantan oleh Taufiq Tanasaldy.
Sumber buku : http://www.tusfiles.net/90qpjtyomv6y