Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mungkin Saja Tindakan Kita Benar, Tapi Sudah Baik dan Patutkah?

25 Desember 2014   17:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:28 35 0
Oleh Suryadi

DALAM sebuah ungkapan lama disebutkan: "Bahasa menunjukkan bangsa". Terasa dalam sekali maknanya. Barangkali, orang-orangtua kita dulu ingin mengataka, "Berbicaralah dengan baik dan benar, namun juga sangat penting menjadi orang yang antara kata dan perbuatannya tidak bertolak belakang. Nah, mudah-mudahan kita semua pernah mendengar/ membaca kalimat berikut ini (?):
>> dalam berkomunikasi gunakan BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR.
>> tindakan Anda itu sudah benar, tapi belum tentu baik.
>> dia sudah menetapkan keputusan sesuai dengan aturan hukum, tapi tidak patut.
Terkait dengan tindakan kita apakah sudah BAIK, BENAR, PATUT, juga demikian pula kita dalam bertutur? Mari, coba kita simak, antara lain yang tersaji dalam KKBI (Depdiknas - BP, 2002) seperti berikut ini:
BAIK --> elok, patut, teratur (apik, rapi tidak ada celanya); mujur, beruntung; berguna, manjur; tidak jahat; selayaknya, sepatutnya (halaman 90).
BENAR --> sesuai sebagaimana seharusnya, betul, tidak salah, tidak berat sebelah; lurus (hati); dapat dipercaya (cocok dengan keadaan sesungguhnya), tidak bohong; sah (keputusannya) (halaman 130).
PANTAS --> PATUT, layak,; sesuai, sepadan, kena benar; tidak mengherankan; tampak elok. (Tapi di bagian lain, kata PANTAS juga dipadankan dengan cepat, tangkas, cekatan) (halam 826)
PATUT --> baik, layak, senonoh; sesuai benar (dengan....); masuk akal; sudah seharusnya (halaman 838).
Sebagi contoh konkret, dalam pekan-pekan ini, ramai dibicarakan tentang akan berakhirnya masa jabatan Hakim/ Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Dr. Hamdan Zoelva. Terkait dengan hal itu, Pemerintah membentuk Panitia Seleksi (Pansel) yang diketuai pakar hukum tata negara Prof. Dr. Saldi Isra dengan salah seorang anggotanya, Refly Harun, orang yang sering menjadi pengacara untuk perkara-perkara di MK. Hamdan bersedia mendaftar kembali, namun dia tidak bersedia mengiktui tahapan wawancara dengan Pansel sebagai salah 1 prosedur yang telah ditetapkan dalam seleksi hakim MK. Hamdan beralasan, sebagai seseorang yang masih menjadi hakim yang juga ketua MK, dia merasa tidak pantas mengikuti wawancara seleksi karena TIDAK PANTAS dan TIDAK ETIS. Kita tahu jabatan hakim, apalagi ketua MK, adalah salah satu jabatan yang seharusnya kukuh dipegang dengan JIWA KENEGARAWANAN.
Pertanyaannya, di satu sisi pantaskah Refly duduk sebagai salah seorang anggota Pansel mengingat bila dilihat dari seringnya mengurus perkara di MK, bisa saja dipahami sebagai figur yang dikhawatirkan membawa "VESTED INTEREST"? Di lain sisi, apakah Hamdan dengan tindakannya itu sudah mengambil sikap yang PANTAS dan dapat dinilai sebagai sosok yang NEGARAWAN.
TAK kalah penting daripada itu, bagaimana benar, baik, pantas, dan patut kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, saat berbicara dan menjalankan profesi, atau ketika kita bertindak, bersikap, dan menetapkan suatu keputusan. Kasus terakhir, apakah kita sudah baik, benar, pantas, dan patut di (setiap kali) datang saat umat Nasrani merayakan HARI NATAL, lantas kita mempertentangkan DOSA atau TIDAK BERDOSA bila kita menyampaikan SELAMAT MERAYAKAN HARI NATAL kepada sesama umat manusia itu?
Benarlah bahwa "Bahasa menunjukkan bangsa." Ini bukan cuma menunjukkan kehalusan dan etika dalam bertutur, jauh dari basa-basi apalagi sekadar kepura-puraan, tapi lebih dalam lagi BAHASA JUGA MENUNJUKKAN ADAB MANUSIA.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun