Langkahnya tertatih menyusuri sudut-sudut rumah berdinding papan usang, rintik hujan di luar menemani kesendirian seorang wanita paruh baya itu. Sesekali gelegar guntur menjadi teman diskusi dikala menyambut sepi. Matanya menatap tajam di balik tirai kebisuan. Kesepian dan kesendirian, tak bisa dihindarkan. Bibirnya pucat pasi menyebut-nyebut sebuah nama. Matanya berlinang seolah-olah sejalan dengan rintiknya air hujan.
Tinggal di Desa kecil bernama Kubung Talang, Jambi. Maryani, wanita berusia 52 tahun duduk termenung di balik jendela menunggu sebuah kepastian. Ia sangat merindukan seorang anaknya yang telah lama pergi merantau. Kini wanita tua itu tengah dilanda kegalauan, sudah enam bulan terkahir semenjak kepergiaan buah hatinya itu, ia tak pernah mendapatkan kabar dari anaknya tersebut. Maryani sangat merindukan Dewi, putri semata wayangnya. Bak sebuah pena tanpa tinta. Kini Maryani merasa kehilangan separuh jiwanya. Kegelisahan dan kegundahan menjadi teman yang semakin lama semakin menggerogoti hatinya.
Semenjak suaminya meninggal dua tahun silam, bukan perkara mudah bagi Maryani menjalani kehidupan sehari-harinya. Ia berusaha membanting tulang demi menyekolahkan Dewi putri semata wayangnya yang sebentar lagi akan lulus dibangku SMK. Semua pekerjaan ia lakukan, mulai dari pembantu rumah tangga, tukang sapu jalanan sampai menjadi pemulung rela ia lakukan demi masa depan sang anak. Akan tetapi, ketika telah tamat SMK Maryani dikejutkan dengan keputusan Dewi yang hendak mengadu nasib di luar kota. Dewi merasa menjadi beban jika tetap tinggal bersama Maryani yang tidak lain adalah Ibunya. Dewi berjanji suatu saat ia akan membahagiakan Ibunya ketika telah sukses nanti. Sebagai seorang Ibu, Maryani tidak bisa berkata apa-apa. Dewi telah mengambil keputusan walaupun sangat berat bagi Maryani untuk melepaskan Putri kesayangannya tersebut.
Bagi Maryani Dewi adalah mutiara yang sangat berharga, ia menganggap Dewi menjadi penghias hatinya, penyejuk hatinya dan sebagai belahan jiwa. Hingga suatu hari menjelang senja sepucuk surat dan sebuah kotak dibungkus rapi diantarkan oleh Pak Pos ke rumah Maryani. Awalnya Maryani heran siapa yang mengirimkan surat dan sebuah bingkisan yang Maryani sendiri tak tau apa isinya. Lalu, seketika wajahnya sumringah, tersenyum lebar karena, tidak lain surat dan sebuah bingkisan itu berasal dari anaknya yang selama ini ia rindukan. Perlahan Maryani membuka surat tersebut lalu dengan seksama ia membacanya.