Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Reforma Korporasi

13 Maret 2014   09:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:59 75 0
Oleh : Suroto
Model kepemilikan perusahaan secara mutual seperti koperasi dan perusahaan sosial, serta kepemilikan perusahaan oleh pekerja atau ESOP (employee share ownership programme) tanpa disadari saat ini telah menggejala diseluruh dunia, dan terus menunjukkan angka peningkatan. Dominasi kepemilikan oleh negara dan pribadi atau keluarga secara perlahan mulai mengalami pergeseran kearah kepemilikan masyarakat luas.

Sebagaimana dilaporkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rilisnya tentang International Year Cooperative 2012 (IYC2012) di Cancun, Brazil 31 Oktober 2011 dilaporkan bahwa, hampir 1 milyard orang menjadi pemilik perusahaan koperasi yang bergerak diberbagai sektor bisnis, dari perbankkan, ritel, asuransi, pertanian, manufaktur , hingga layanan publik seperti rumah sakit yang tersebar di lebih dari 100 negara diseluruh dunia.Sementara itu EFES (European Federation of Employee Share Ownership) mencatat, hingga tahun 2011, ada 32,8 juta orang yang menjadi pemilik dari 2.505 perusahaan besar di Eropa.Di Amerika Serikat, seperti yang dilaporkan oleh Profesor Gar Alperovits (New York Times, 14/12/2011), ada 13 juta orang buruh pada 11.000 perusahaan besar disana.
Disadari atau tidak, tuntutan demokrasi ekonomi disegala sektor, secara pelan tapi pasti telah merubah wajah perusahaan privat kapitalis, tapi tidak ke kiri seperti dalam model kepemilikan kuno oleh negara, namun kearah kepemilikan publik kooperatif atau masyarakat.Isyaratnya jelas, demokrasi ekonomi tak mungkin bisa jalan tanpa adanya pemilikan dan pengawasan masyarakat secara langsung terhadap perusahaan. Aspirasi mereka juga tak ingin disumbat oleh kebuntuan sistem perwakilan perusahaan dalam model perusahaan milik negara.
Seperti kita pahami, dalam penyelenggaraan ekonomi yang demokratis, setidaknya harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut ; berorientasi pada pelayanan terbaik (benefit oriented), ada partisipasi langsung masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan pengawasan, dijamin adanya kesetaraan dalam pengelolaanya, perlindungan dana kembali (economic patrone refund) dari yang dibayarkan masyarakat, pertanggungjawaban pada masyarakat, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan administrasi dan keuangan, kesetaraan(non-diskriminasi) dan keberpihakan pada yang lemah.
Di Indonesia, sistem kepemilikan buruh itu belum banyak dipraktikkan di korporasi, dan sebagian kecil yang telah menerapkan angkanya juga tidak signifikan. Sementara dari model kepemilikan mutual seperti koperasi, fungsinya disubordinasi oleh kepentingan korporat kapitalis dalam model Koperasi Karyawan yang bersifat fungsional terhadap efisiensi perusahaan swasta kapitalis itu sendiri.Seperti misalnya model koperasi di perkebunan sawit yang diperankan untuk sekadar memunggut setoran perusahaan Inti misalnya, dan atau model koperasi karyawan yang dikelola secara sampingan dan pararel oleh karyawan perusahaan untuk maksud efisiensi biaya sosial korporasi yang biasanya banyak difungsikan dalam pemberian pinjaman konsumtif karyawan.
Sebagaimana kita tahu, karena masalah kepemilikan buruh dan masyarakat setempat ini diabaikan, akibatnya hubungan antara korporasi dan buruh, serta korporasi dan masyarakat setempat di Indonesia sepertinya menuju pada tensi tegangan yang tak berujung.Sebut saja demo buruh di Batam, Freeport, Bekasi, hingga kasus konflik korporasi dan masyarakat seperti di Mesuji, dan Bima pada akhir-akhir ini.Kasus yang terjadi seperti berulang dan kemudian masalah-masalah lama tersebut telah dipastikan mendapatkan jawaban-jawaban kunonya, diredam tanpa dilihat persoalan mendasarnya. Konflik yang ada hanya dikonversi kedalam konsensus jangka pendek, bukan dibawa ke ruang yang lebih tinggi dalam kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak secara langgeng.
Padahal kita tahu, hulu dari permasalahan yang ada adalah di kepemilikan.Masyarakat dimana perusahaan ditempat perusahaan itu beroperasi itu tersingkirkan oleh karena tanah tempat mereka mencari nafkah telah dibeli oleh perusahaan.Sebagian kecil dari mereka yang masih tinggal adalah menjadi pekerja kasarnya sebagai buruh musiman atau sebagai tenaga keamanan sipiluntuk mengamankan istalasi perusahaan.Sementara buruh-buruh pabrik hanya diberikan satu peluang untuk merubah nasib mereka dengan cara berdemonstrasi untuk kenaikan upah atau gaji.
Sementara itu, regulasi yang ada ditempatkan hanya untuk membela kepentingan investasi dengan alasan agar tercipta lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Padahal jelas adagiumnya, kemiskinan buruh yang hanya bergaji minimum yang tidak layak untuk kemanusiaan itu jelas tak mungkin dapat merubah status kemiskinan mereka tanpa diberikan peluang untuk mengkreasi kekayaan melalui program kepemilikan perusahaan tersebut.
Dunia saat ini seperti sebuah bangunan megah diatas lautan pasir. Dalam kondisi rentan dan tak tahan goncangan. Krisis dunia mengancam negara kaya maupun miskin. Demokrasi politik yang abai terhadap kesetaraan akses ekonomi pada akhirnya membuat demokrasi dalam kondisi tertawan oleh kekuasaan plutokarkhi, kekuasaan ditangan segelintir orang kaya dan elit politik.
Akhir-akhir ini kita semua disodori fakta bahwa sistem ekonomi Amerika Serikat yang hanya memberikan prioritas pada segelentir orang sedang menuai protes keras dalam aksi yang masif Occupy Wall Street.Kita juga dapat lihat sistem dominasi negara yang digambarkan keberhasilanya oleh China saat ini juga masih berada dalam tanda tanya besar dalam persoalan keadilan dan keberlangsunganya. Sementara sistem negara kesejahteraan (welfare state) yang diterapkan di Eropa sebagai varian yang lain dari sistem kapitalisme mengalami gejala penurunan produktifitas karena peran negara yang terlalu kaku dalam distribusi kesejahteraannya. Sementara rezim feodal di Timur Tengah sedang berada dalam kegoncangan protes rakyat yang sudah bosan dengan perilaku elitnya yang feodalistik.
Kegagalan kapitalisme dan komunisme, harus kita ambil momentumnya untuk kembali pada ekonomi konstitusi yang berdasarkan pada demokrasi ekonomi. Keputusan-keputusan ekonomi yang mempengaruhi kehidupan rakyat harus dibuat oleh mereka sendiri.Pada dasarnya, demokrasi yang lebih partisipatif, di mana pertumbuhan ekonomi akan menguntungkan sejumlah besar warga negara. Sebab, demokrasi ekonomi dalam model dan prakteknya seperti ; koperasi, bisnis mutual, dan kepemilikan lokal (local ownership), ESOP (employee share ownership plan) memiliki peran penting untuk mewujudkan keadilan ekonomi secara distributif tersebut karena melalui jalan ini setiap individu memiliki peluang yang sama untuk terlibat dalam proses produksi, konsumsi dan distribusinya. Selain berfungsi untuk mengurangi keserakahan dan mempertinggi modal sosial yang penting bagi pembangunan.
Agenda reformasi juga harus menerobas ke akar macetnya demokrasi melalui agenda pentingreforma korporasi, karena dengan sifat bisnis yang terbuka bagi semua orang secara ekual, maka sistem demokrasi ekonomi dengan sendirinya sudah barang tentu menolak segala bentuk ekspolitasi, penindasan, pembodohan, pemelaratan, dsb.
Jakarta, 3 Maret 2012
Suroto, Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun