Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Paradigma Pekembangan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Indonesia

20 November 2012   00:28 Diperbarui: 4 April 2017   17:21 4393 0
PARADIGMA KONSERVASI – Pengertian konservasi, khususnya konservasi sumberdaya ikan telah dipahami sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan (PP No. 60 Tahun 2007). Nyata bahwa konservasi bukan hanya upaya perlindungan semata, namun juga secara seimbang melestarikan dan memanfaatkan berkelanjutan sumberdaya ikan yang pada akhirnya tentu saja untuk kesejahteraan masyarakat. Upaya Konservasi sumberdaya ikan ini mencakup  konservasi ekosistem (salah satunya melalui kawasan konservasi perairan), jenis dan genetik ikan.

Berdasarkan PP No. 60 Tahun 2007 pasal 1. Kawasan konservasi perairan (KKP) didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. IUCN – The Conservation Union, mendefinisikan kawasan konservasi laut sebagai suatu area atau daerah di kawasan pasang surut beserta kolom air di atasnya dan flora dan fauna serta lingkungan budaya dan sejarah yang ada di dalamnya, yang diayomi oleh undang-undang untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan yang tertutup. Lebih lanjut, menurut UU 27/2007, Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan

Berdasarkan Pengertian Konservasi Sumberdaya Ikan yang dan Kawasan Konservasi Perairan menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU No. 45 Tahun 2009) dan PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling tidakmemuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi.  Pertama, Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem ZONASI. Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam Kawasan Konservasi Perairan, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya.  Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi kawasan konservasi terdahulu baik menurut UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 68 tahun 1998. Kedua, dalam hal Desentralisasi kewenangan pengelolaan, yakni pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat saja, kini berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 (Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008) dan PP No. 60 Tahun 2007 serta Permen Men KP no Per.02/Men/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 tahun 2008, khususnya terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.

Pengaturan sistem zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat lokal, khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak dilakukan. Peran Pemerintah pusat dalam konteks ini, hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah.

KEBIJAKAN DAN REGULASI – Pengelolaan kawasan konservasi perairan tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya ikan secara keseluruhan. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Sebagai upaya konservasi wilayah perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah menetapkan kebijakan antara lain, ditetapkannya target nasional yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan Convention on Biological Diversity (CBD) di Brazil tahun 2006, yaitu pencanangan target 10 juta hektar kawasan konservasi Laut pada tahun 2010, yang menjadi dasar komitmen kementerian kelautan dan perikanan untuk menggandakan target menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020, juga pernyataan Presiden mengenai Coral Triangle Initiative (CTI) dalam forum APEC Leaders Meeting di Sydney, 2007. Dukungan kebijakan kebijakan nasional dalam pengembangan kawasan konservasi perairan dibuat secara menyeluruh dan terpadu serta mempertimbangkan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Berbagai kebijakan, peraturan, pedoman terkait pengelolaan kawasan konservasi perairan telah dikembangkan.

Saat ini telah banyak peraturan perundangan ataupun turunannya sebagai acuan dalam mengembangkan dan mengelola kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, diantaranya: UU No. 31 tahun 2004 sebagaimana telah direvisi dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan; UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 12 Tahun 2008; UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan; Peraturan Presiden (Perpres) No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar; Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No. 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat;  Kepmen KP No. 38/Men/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang dan Ekosistemnya;  Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen) No. Per.16 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; Permen  KP No. Per.17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; Permen KP No. Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan;  Permen KP No. Per.03/Men/2010 tentang Tata Cara Penetapan Perlindungan Jenis Ikan;  Permen KP No. Per.04/Men/2010 tentang Pemanfataan Jenis dan Genetika Ikan; Permen KP No. Per.30/Men/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan dan beberapa Peraturan Menteri (Permen); dan berbagai kebijakan, pedoman dalam pelaksanaannya.

KOMITMEN PENGELOLAAN – Dalam rangka mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu dan berkelanjutan secara umum dan pengelolaan KKP secara spesifik, Kementerian Kelautan dan Perikanan membentuk Unit Pelaksana Teknis di beberapa daerah. Pada Maret 2008, dibentuk Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang dan Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang. Selanjutnya pada November 2008 menyusul dibentuk Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong, BPSPL Denpasar, BPSPL Makassar, dan BPSPL Pontianak. Bulan Januari 2009 berdiri Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN)  Pekanbaru dan setahun kemudian dibentuk LPSPL Serang. Tugas utama BKKPN/LKKPN adalah melaksanakan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan kawasan konservasi perairan nasional demi kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, sedangkan tugas utama BPSPL/LPSPL adalah  melaksanakan pengelolaan meliputi antara lain perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Pada Bulan Mei 2009, Indonesia menjadi tuan rumah even besar yaitu World Ocean Conference (WOC) – Konferensi Kelautan Dunia. Dalam even ini, para ahli kelautan mempresentasikan berbagai kegiatan penelitian dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut. Selain itu, even ini juga sebagai ajang diskusi, komunikasi, dan sharing pengalaman ahli-ahli kelautan dunia. Dalam even tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan dan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) mendeklarasikan pencadangan Laut Sawu sebagai Taman Nasional Perairan (TNP). TNP Laut Sawu ini mencakup luasan 3,5 juta ha dan secara administratif berada dalam wilayah 14 kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi NTT. Sebagai tindak lanjut dari pencadangan ini, pemerintah mendapat bantuan dari Pemerintah Jerman dan CTSP dalam menyiapkan kajian ilmiah potensi sumberdaya, sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat, penyiapan kelembagaan, dan penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi.

Bersamaan dengan WOC 2009, Indonesia juga menekankan kembali komitmennya untuk mengembangkan KKP menjadi 20 juta Ha pada tahun 2020. Komitmen tersebut didukung oleh negara-negara tetangga dalam wilayah Coral Triangle, Malaysia, Philippines, Solomon, Papua New Guinea, dan Timor Leste, serta komitmen dukungan dana dari Amerika serikat dan Australia. Komitmen tersebut juga ditindaklanjuti dengan berbagai kegiatan yang dapat mendukung pengembangan dan pengelolaan KKP, yang salah satunya adalah penyusunan National Plan of Action (NPoA) dan Regional Plan of Action (RPoA).

PERKEMBANGAN KONSERVASI - Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) menyebutkan bahwa sampai bulan Juni tahun 2012 terdapat sekitar 15,78 juta hektar kawasan konservasi perairan (laut) di Indonesia. Kawasan konservasi perairan maupun kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkembang di Indonesia niscaya tidak hanya terhenti dalam capaian luasan semata, namun pengelolaan kawasan konservasi secara berkelanjutan yang “efektif” adalah harapan yang senantiasa terus digapai perwujudannya, hingga pada akhirnya tercapai kesejahteraan masyarakat sebagai benefit pengelolaan kawasan konservasi yang lestari.

TABEL Status Luas Kawasan Konservasi Perairan (Laut) di Indonesia



Nomor
Kategori
Jumlah
Luas (Ha)




A
Inisiasi Kementerian Kehutanan
32
4,694,947.55


1
Taman Nasional Laut
7
4,043,541.30


2
Taman Wisata Alam Laut
14
491,248.00


3
Suaka Margasatwa Laut
5
5,678.25


4
Cagar Alam Laut
6
154,480.00


B
Inisiasi Kementerian Kelautan & Perikanan, dan Pemerintah daerah
76
11,089,181.97


1
Taman Nasional Perairan
1
3,521,130.01


2
Suaka Alam Perairan
3
445.630,0


3
Taman Wisata Perairan
6
1,541,040.20


4
Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD)
66
5,581,381.76


Total
108
15,784,129.52


Sumber: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, 2012

Dikaji dari perspektif perlindungan terhadap habitat penting (critical habitats), hasil gap analysis tahun 2010 terhadap kawasan koservasi di Indonesia menyimpulkan bahwa ekosistem terumbu karang Indonesia mencakup luasan 3,29 juta ha, mangrove 3,45 juta ha, dan luasan padang lamun 1,76 juta ha. Dari luasan tersebut, saat ini Indonesia telah melakukan perlindungan dengan menjadi bagian wilayah konservasi terhadap 22,7% terumbu karang (747.190 ha), 22,0% mangrove (758.472 ha), dan 17,0% padang lamun (304.866 ha). Untuk itu, maka perlu diupayakan pengembangan KKP/KKP3K di ekoregion-ekoregion yang saat ini masih belum memenuhi target, terutama di ekoregion Halmahera.  Di ekoregion ini belum ada perlindungan terhadap habitat penting, baik mangrove, terumbu karang maupun padang lamun.[1]

Menurut Bohnsack et al. (2000), melindungi  sekitar 20 – 30% luasan terumbu karang telah terbukti dapat mendukung keberlanjutan ekosistem terumbu karang. Sedangkan PISCO (2002) mensinyalir bahwa manfaat optimal dari pengelolaan KKP melalui spill-over dan produksi larva akan meningkat pada perlindungan terhadap 20-30% luasan habitat penting. Setelah melewati 20-30%, KKP menjadi sangat luas, sehingga akan menurunkan produksi perikanan karena menyempitnya daerah penangkapan bagi masyarakat. Pendapat Bohnsack hanya terfokus pada ekosistem, sedangkan PISCO hanya berorientasi pada hasil penangkapan ikan.

Menilik luasan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang telah mencapai 15,7 juta hektar, tentu masih dibutuhkan pengembangan sekitar 4,3 juta ha lagi Kawasan Konservasi Perairan sampai dengan 8 tahun mendatang. Kajian untuk memetakan rencana pengembangan Kawasan Konservasi Perairan sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayah telah dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat keanekaragaman hayati wilayah perairan Indonesia, dan hasilnya telah dipublikasikan, dengan judul “Penetapan Prioritas Geografi untuk Konservasi keanekaragaman Hayati Laut di Indonesia” merupakan hasil kajian dalam menentukan wilayah-wilayah prioritas untuk pengembangan Kawasan Konservasi Perairan di masa yang akan datang. Buku tersebut merupakan hasil pemikiran para ahli kelautan dalam dan luar negeri untuk mengetahui wilayah-wilayah prioritas berdasarkan pada kriteria ekologi yang mencakup 3 aspek yaitu: (a) Ketidaktergantikan (irreplaceability) yang mencakup tingkat endemisme, keunikan taksonomi, keberadaan spesies langka yang berkaitan dengan keanekaragaman spesies dan habitat terumbu karang,  ikan karang, padang lamun, dan mangrove; (b) kerentanan terhadap perubahan dan gangguan alam; dan (c) keterwakilan habitat dalam wilayah perencanaan. Ada 12 wilayah bioekoregion yang dirangking keanekaragaman hayatinya, batas-batas ekoregion peringkat 1 (Papua, prioritas konservasi teratas) sampai ekoregion peringkat 12 (Selat Malaka, prioritas konservasi paling rendah), seperti gambar berikut.

PENGELOLAAN KONSERVASI – Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, dalam menjalankan program kegiatan, berpedoman pada sasaran strategis yang telah ditetapkan dengan mengacu pada rencana strategis Direktorat Jenderal kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil – Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sasaran program kegiatan dalam 5 tahun (2010 – 2014) adalah Terkelolanya kawasan konservasi perairan seluas 4,5 juta hektar secara berkelanjutan serta bertambahnya luas kawasan konservasi perairan di Indonesia menajdi 15,5 Juta Hektar pada tahun 2014. Pada urusan konservasi Jenis Ikan, Direktorat ini menyasar 15 Jenis Biota perairan yang dilindungi (napoleon, arwana super red, arwana jardini, kuda laut, karang, hiu, paus, Banggai Cardinal Fish, kima, terubuk, labi-labi, lola, teripang, penyu, dan dugong) untuk dikelola secara berkelanjutan.

Program-program  konservasi yang dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan perikanan melalui Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, antara lain dilaksanakan melalui: (1) Konservasi Ekosistem/Konservasi Kawasan; (2)  Konservasi Jenis Ikan dan Genetik; (3) Data, Informasi dan Jejaring Pengelolaan Konsevasi, (4) Pembinaan dan Penguatan SumberDaya Manusia; (5) Penguatan Kebijakan, Peraturan dan Pedoman; (6) Pemanfaatan Kawasan dan Jenis Ikan; serta (7) Kerjasama Lokal, Regional, Internasional. Program-program tersebut, dilakukan untuk mencapai tujuan tercapainya kawasan konservasi dan jenis biota perairan dilindungi yang dikelola secara berkelanjutan.

Tujuan pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil (KKP/KKP3K) yang dikelola berdasarkan sistem zonasi, sedikitnya dapat  dilakukan melalui tiga strategi pengelolaan, yaitu: (1) Melestarikan lingkungannya, melalui berbagai program konservasi, (2) menjadikan kawasan konservasi sebagai penggerak ekonomi, melalui program pariwisata alam perairan dan pendanaan mandiri yang berkelanjutan, dan (3) pengelolaan kawasan konservasi sebagai bentuk tanggung jawab sosial yang mensejahterakan masyarakat.

Strategi dan Program kegiatan yang tercakup dalam ruang lingkup aspek-aspek tata kelola, sumberdaya dan sosial-ekonomi-budaya dalam suatu kawasan konservasi, antara lain sebagai berikut:



Aspek
Strategi dan Program kegiatan


Tata Kelola


  • Peningkatan Sumber Daya Manusia;
  • Penatakelolaan Kelembagaan;
  • Peningkatan Kapasitas Infrastruktur;
  • Penyusunan Peraturan Pengelolaan Kawasan;
  • Pengembangan Organisasi/Kelembagaan Masyarakat;
  • Pengembangan Kemitraan;
  • Pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan;
  • Pengembangan Sistem Pendanaan Berkelanjutan; dan
  • Monitoring dan Evaluasi.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun