Di masa Ncuhi, telaga Sima menjadi sumber mata air bagi kebutuhan masyarakat rasa Daha Ntoi maupun rasa Hu'u Ntoi. Rasa Ntoi (kampung lama) Daha dan Hu'u berada di atas gunung. Di puncak gunung yang tidak jauh dari tenaga Sima inilah kedua kampung ini berada. Masyarakatnya mendiami wilayah dataran tinggi dengan dipimpin oleh Ncuhi.
Berdasarkan cerita tutur masyarakat setempat, bahwa kampung Ntoi ini dipimpin oleh para Ncuhi. Mereka mendiami wilayah ini cukup lama, walau tidak ada sumber tertulis yang menjelaskan berapa lama masyarakat di kedua kampung lama ini mendiami wilayah ini. Yang pasti mereka berpindah-pindah dalam kurung waktu tertentu.
Bahkan kampung lama Hu'u sebelumnya berada di Puma. Sebuah wilayah pegunungan di selatan telaga Sima. Di tempat inilah cikal bakal masyarakat Hu'u sekarang. Bahkan bukti-bukti peninggalan berupa kuburan di tempat ini dan sekitarnya masih bisa di temukan. Hanya saja belum semua kampung lama ini mendapat perhatian dari peneliti, baik arkeologi maupun sejarawan untuk mengungkapkan kehidupan masa lalu di tempat ini.
Demikian pula dengan keberadaan telaga Sima yang saban hari airnya selalu mengalir. Posisinya berada di pinggir gunung yang jaraknya sekitar enam puluh meter dari sungai terdekat dan sekitar setengah kilo dari situs Roa Rumu yang juga merupakan bukti peninggalan Ncuhi Daha di masa lalu.
Untuk sampai di telaga Sima, dari Desa Daha yang merupakan desa terdekat, kami mengendari motor dengan melewati jalan bebatuan yang menantang. Beberapa kali motor harus dihentikan lajunya ketika berhadapan dengan jalan yang berkubang. Namun sebelum sampai di telaga Sima, kami terlebih dahulu singgah di situs Roa Rumu.
Beberapa saat singgah di Roa Rumu kami pun kemudian melanjutkan perjalanan hingga sampai di sisi barat gunung yang mengarah ke lokasi tujuan. Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki dengan mendaki gunung yang sudah beralih fungsi menjadi ladang warga. Semak-semak yang ketinggiannya di atas perut harus kami sibak selama perjalanan.
Dari kejauhan di arah barat terlihat perkampungan. Beberapa atap-atap rumah terlihat jelas dengan sapuan mentari siang yang menyengat kulit. Di sanalah Desa Daha kekinian. Di sanalah masyarakat menyimpan kisah masa lalu sejarah kampung halamannya yang berkelindan bersama lajunya waktu. Namun seiring berjalannya waktu, kisah itu hanya bisa diwartakan oleh tetua kampung yang masih hidup.Sementara dalam perjalanan menuju telaga Sima ini, kami berjumlah enam orang. Dua pemuda setempat yang menjadi penunjuk arah jalan serta tiga peneliti dari jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin, Makassar. Mereka bernamaTaufik Kamara Rosmana S.Sos.
Sultan Hamdi, S.Sos.M.Si dan
Jayana Suryana Kembara, S.Sos, M.Si.
Sementara saya sendiri merupakan pemerhati sejarah dan penulis jalanan yang mencoba menulis patahan-patahan kisah masa lalu yang mulai hilang bersama angkuhnya sang waktu. Menuliskannya dengan tujuan mengawetkan kisah itu agar generasi di masa mendatang tidak hilang identitasnya. Karena peristiwa masa lalu tidak cukup dikisahkan dengan lisan, karena memori otak manusia tidak cukup menyimpan semua peristiwa yang silih berganti dan mengendap dalam memori.
Setelah sekitar dua puluh menit perjalanan dari tempat memarkirkan motor, kami akhirnya sampai di telaga Sima. Keberadaanya tidak jauh dari pinggir ladang warga. Telaga Sima memiliki sejarah panjang bagi masyarakat Daha dan masyarakat Hu'u yang nenek moyangnya pernah memanfaatkan air di telaga ini sebagai sumber kehidupannya. Sebuah telaga yang menyimpan rekam historis kehidupan masa lalu masyarakat yang pernah mendiami wilayah ini.
"Telaga Sima merupakan sumber penghidupan bagi sebagian makhluk yang ada disekitaranya termasuk manusia yang mendiami daerah tersebut. Bagaimana tidak, telaga sima hadir sebagai anugrah atau nafas di tengah-tengah kondisi panas dan keringnya daerah ekologis Hu'u. Air yang terus mengalir walaupun dalam kondisi apapun merupakan sebuah anugrah" ujar Taufik Kamara Rosmana.
Telaga Sima, lanjut Ara demikian ia biasa dipanggil mengatakan ini sebagai warisan penghidupan tersendiri bagi masyarakat yang ada disekitarannya. Adanya keterikatan khusus masyarakat pada telaga Sima menjadikan telaga Sima sebagai salah satu bentuk jati diri masyarakat. Tempat yang dimana masyarakat meyakini sebagai tempat leluhur mereka bermukim selama ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.
"Telaga Sima menjadi sesuatu yang menarik untuk kita lestarikan dan nikmati sebagai wujud kesadaran diri kepada sang maha pencipta. Hal ini juga bisa kita lihat sebagai bentuk cerminan kesantunan suatu kaum yang pintar merasa terhadap leluhur dan adat serta alam tanahnya sendiri, serta sebagai pertanda sikap kemuliaan suatu kaum yang memahami arti bersyukur dan mengerti berterima kasih" harapnya
Jika di masa Ncuhi air di telaga Sima dimanfaatkan untuk kehidupan seperti sumber air minum dan kehidupan rumah tangga. Namun di era modern, air di telaga Sima ini juga dipercayai mampu menyembuhkan orang yang sakit. Dimana sebagian masyarakat membawa sesajen dan ayam untuk disembeli. Ayam yang dipotong di tempat ini biasanya dua ekor. Ayam jantan dan ayam betina. Lalu kemudian dipersembahkan kepada semesta dengan harapan kesembuhan bisa segera menyapa.
"Sebagian masyarakat meyakini di telaga Sima ada Parafunya, bahwa di tempat itu didiami oleh leluhurnya di masa lalu. Maka dengan itu mereka melakukan upacara ritual agar hajatnya ditunaikan" ujar seorang warga
Selain itu, di telaga Sima juga dilakukan ritual oleh sebagian masyarakat untuk meminta keturunan. Ini dilakukan oleh pasangan yang sudah lama tidak mendapat momongan. Tentu ritualnya dilakukan oleh mereka yang diyakini sebagai orang 'pintar'. Dengan jampi-jampi, orang pintar ini merapalkan doa di telaga Sima agar harapan pasangan yang belum memiliki momongan tadi bisa segera terwujud.
Dan ritual semacam ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat yang meyakininya. Mereka datang dengan segala kebutuhan ritual lalu merapalkan doa pada semesta agar hajatnya bisa terkabulkan. Sebuah tradisi yang masih hidup di tengah deru zaman yang melaju kencang. Walau sebagian pihak dengan sudut pandang agama tertentu mungkin tradisi ini dianggap menyimpang dari ajaran langit.
Dan setelah menikmati udara segar dan menyejukkan di sekitar areal telaga Sima, kami pun memutuskan untuk pulang. Namun sebelum itu dua orang peneliti dari Unhas ini memutuskan mandi di sungai yang tidak seberapa jauh dari telaga Sima. Mereka merasakan sensasi dinginnya air pegunungan yang mulai terancam dengan pembukaan ladang dari warga setempat.
Dari perjalanan inilah tulisan ini berada di depan sidang pembaca. Dan jika penasaran dengan keberadaan telaga Sima, maka jangan malu-malu mengajak saya. Karena masih ada kisah yang belum semua terurai dengan barisan kalimat dan paragraf.
Terima kasih sudah membaca kisah perjalanan kami kali ini. Tetaplah membersemai alam karena dengan itu kita bisa harmonis dalam menjejaki semesta. Â