Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Kini Hanya Bisa Mengenang

4 Januari 2022   18:00 Diperbarui: 4 Januari 2022   18:03 250 4
Kaki ringkihnya kini mulai tak sanggup lagi menopang tubuhnya yang mulai menua. Garis-garis ketuaan terlihat jelas di wajahnya. Sudah banyak kisah yang dilewatinya kini. Generasinya hanya tersisa dirinya dan beberapa yang lain. Sebagian besar telah pulang. Pergi untuk selama-lamanya karena takdir. Mereka membawa pergi kisah hidupnya yang terkubur bersama lajunya waktu.
Perempuan itu, yang kini cucu-cucunya memanggilnya dengan sebutan Umi. Nama pemberian orang tuanya dulu hampir jarang lagi menjadi panggilannya. Saat ini, di usianya yang jauh dari kata muda, hanya mencoba mengingat kembali lapisan-lapisan kisah yang masih mengendap dalam benaknya. Tak banyak yang bisa diingatnya. Sebagian hilang bersama pergantian hari dan masa.
Kini ia menyaksikan dunia yang berbeda. Jika di masanya beranjak dewasa, hanya lampu petak yang menerangi malam. Kala itu, yang seumuran dengannya, hanya disibukan dengan urusan sawah dan ladang. Sesekali di dapur dan di depan cermin. Tak banyak bedak dan lipstik yang berjejer di depan kaca. Minyak kelapa serta jeruk tua saat mandi cukup mengkilapkan rambutnya yang panjang terurai hingga pantat.
Selain itu, kesibukan lain yang menjadi musiman setiap tahun, pergi pagi menanam padi, hingga sore menjelang malam untuk membantu perekonomian keluarga. Jika lelaki ingin menaruh minat, tak mudah menjumpainya karena ketatnya adab dan normal yang berlaku.
Hanya lewat perantara yang menjadi jembatan penghubung antara hati seorang perjaka kepada perempuan kala itu. Zaman dimana teknologi berupa handphone masih menjadi mimpi bagi orang di pedesaan seperti dirinya. Bahkan belum ada siaran televisi yang memberi kabar tentang dunia luar. Semua menjadi gelap serupa pekatnya malam dan nyanyian burung dari dalam hutang yang tak jauh dari kampung.

Kini, ketika anak-anaknya sudah berpisah rumah dengannya karena sudah berkeluarga, dirinya tetap memilih tinggal di rumah warisan suaminya yang duluan pulang menghadap ilahi robi. Hari-harinya hanya duduk sembari mengerjakan sesuatu yang bisa dilakukan oleh anggota tubuhnya yang mulai renta. Tak banyak harapan pada anak-anaknya karena usianya yang makin uzur. Dirinya tidak sekali pun menuntut agar anaknya memperhatikannya. Melihat mereka bahagia saja dirasanya cukup mewakili kepuasannya sebagai seorang ibu.
Tapi satu yang paling sulit dilupakannya adalah ketika membesarkan anak-anaknya hingga bisa mengenyam bangku sekolah. Ketika banyak orang menaruh perasaan sinis padanya, karena dianggap terlalu berani mendorong semua anaknya untuk sekolah. Malah ia jawab dengan tindakan, bukan datang menghardik lalu membuat perhitungan dengan sumpah serapah. Dirinya tidak perlu membakar keangkuhan dengan kata-kata pada mereka yang tidak menyukainya.
Keyakinan menuntunnya. Anak-anaknya patuh. Perintah di tunaikan, lalu menyeberang ke pulau seberang. Pergi membawa pesan seorang ibu yang selalu terngiang saat rasa malas dan lelah merajuk. Di perantauan mereka menimba ilmu dengan sungguh-sungguh, serta tahan banting dalam kubangan kesulitan.

"Maja labo dahu anak ee di ngge'e di rasa dou (malu dan takut anakku hidup di kampungnya orang" Pesan seorang ibu yang mulia itu.
Di kampung, sebagai seorang ibu yang melihat cerah masa depan anak-anaknya, mengais rezeki dengan beragam cara. Malam serupa pagi. Menumbuk padi tuan-tuan tanah di kampung merupakan bagi pilihan hanya untuk memastikan anak-anaknya di perantauan tetap mendapat suplai beras.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun