Semenjak kembali ke kampung dari perantauan satu bulan yang lalu. Saya berkesempatan menyambangi tempat-tempat yang dulu di masa kecil berkisar tentang geliat tawa, tangisan, teriakan memekakan semesta. Tempat itu mengingat kembali ketika hari dilalui bersama anak-anak kampung, mengejar layang-layang, menyelam di sungai untuk menangkap ikan di sela bebatuan, dan bahkan pernah didatangi oleh ibu dengan kayu di tangan kala terlalu lama menghabiskan waktu mandi di sungai.
Masa-masa itu telah kembali menyeruak ke permukaan memori. Menyaksikan kampung yang sudah bersolek dengan banyaknya bangunan tembok, seolah sedang menepikan bangunan rumah kayu yang dulu menjadi tempat bersemayam warga kampung. Rumah-rumah berbahan kayu dan genteng, mulai tergantikan dengan rumah berbahan semen dan seng yang terlihat praktis.
Semua perlahan berubah. Saya hanya bisa mengingat kembali masa-masa, dimana kampung masih cukup asri, air sungai yang jernih, jalan kampung yang sepi kendaraan, anak-anak yang main berkelompok dengan saling mengejar dan bersembunyi di balik pohon pisang.
Ketika malam meninggi, warga berkumpul di gardu sambil mengisap rokok kretek dan ditemani kopi hitam. Suara jangkring, nyanyian burung dari arah gunung ikut menemani malam warga kampung. Di gardu kisah itu diwartakan, beberapa yang lain sesekali tertawa ketika cerita itu bernada humoris. Di tangan hanya rokok, dan tak ada handphone, apa lagi kunci motor.