"Yaudah! kita putus!"
"Oke!! kita PUTUS!"
Aku putus dengannya kemarin sore. Senja kedua sangat berat melewatinya. Seakan apa yang kulakukan kemarin sore adalah hal yang terbodoh kulakukan sepanjang hidupku.
Aku Dian, perempuan senja. Selalu menunggu senja seperti menunggu kekasih. Tetapi senja kemarin bukanlah senja yang kutunggu, dan senja hari ini adalah senja terburuk kedua yang pernah kurasakan.
Semua berawal dari persoalan kecil menurutnya, tetapi menurutku itu persoalan besar. Ketika itu aku dan dia, yang sekarang mantan kekasihku nongkrong disebuah kafe; kami sebut itu Kafe Jadian. Saat yang tak terduga olehku, dia bertemu dengan mantan kekasihnya dan aku tak pernah melihat dia sebahagia hari itu. Aku sebelumnya tidak tahu kalau itu adalah mantan kekasihnya, karena aku memang tidak mau tahu tentang masa lalunya. Tetapi setelah Eci pergi (mantannya), dia menceritakan semuanya. Dan Eci adalah mantan terbaiknya, katanya.
Senja kala itu bagai terik siang hari, panas. Aku cemburu, dan secara fisik aku kalah dengan Eci, menurutku. Hal itu menambah rasa cemburuku. Atmosfir kafe mulai terasa asing. Yang aku tidak terima adalah begitu semangatnya dia bercerita tentang masa lalunya dengan Eci, begitu bahagianya dia terlihat dari rona wajahnya. Jujur, aku benci mengingat hal itu!
Selama ini, aku menyimpan banyak amarah ke dia. Aku selalu sabar disetiap kesalahannya, disetiap kecemburuanku. Tapi senja kala itu, aku luapkan semua yang kusimpan selama ini. Senja kemarin sore adalah bom waktu yang meledak. Tak peduli dengan siapapun yang ada di Cafe itu, kami berantem besar. Aku emosi dan dia emosi. Kami putus.
Aku Dian, dan dia Aldi yang kini menjadi mantan kekasihku. Pacaran yang berusia enam bulan berakhir juga. Ego yang menyatukan kita, ego juga yang memisahkan kita. Kini Kafe Jadian kita itu berubah menjadi Kafe Perpisahan.
Aku Dian, akan selalu menyukai senja walau senja kali ini melukai hatiku. Aku yakin, hanya senja yang setia menemuiku setiap hari.
-END-