Anak-anak yang terlahir dalam suatu keluarga yang sama terkadang tidak kentara, terkadang satu orang sangat terbuka dibandingkan satu sama lainnya.
"Kakak saya yang lebih tua -anak pertama- selalu dianggap sebagai "anak emas." Ia selalu sempurna di mata ayah saya, dan ayah saya menghabiskan waktu berjam-jam bersamanya, mengajarkannya bagaimana melempar bola bisbol, membetulkan mesin mobil, dan mengemudikan kapal. Ketika tiba waktunya bagi saya untuk mempelajari itu semua, ayah saya mengeluh,"mengapa kamu tidak sepintar kakakmu? kamu tidak akan pernah melakukannya dengan baik." Dalam beberapa hal saya cukup beruntung. Ibu saya selalu ada di sana, mengatakan bahwa saya pintar di bidang yang lain. "Kamu memiliki otak jenius untuk matematika," katanya.
"Akhirnya saya menjadi akuntan, dan kakak saya menjadi seorang mekanik. Kalau dilihat dari luar, hidup saya lebih nyaman dibanding dia: pekerjaan yang gajinya bagus, rumah yang besar, dua mobil mewah, dan bisa mengirim anak perempuan saya belajar piano dan menari. Tetapi saya tidak pernah bisa lepas dari perasaan bahwa saya selalu kurang, bahwa apapun yang saya lakukan di tempat kerja dan yang saya lakukan untuk keluarga saya adalah upaya untuk menjadi "anak emas" yang tidak pernah saya rasakan ketika kecil.
"Saya mencintai kakak laki-laki saya, dan kami berhubungan baik. Tetapi saya masih iri dengannya, dan perasaan itu meluas hingga pada rekan kerja saya. Saya selalu khawatir tentang bagaimana menyenangkan atasan saya, dan saya khawatir jika orang lain di departemen saya menyelesaikan tugas mereka lebih cepat dan efesien dibandingkan saya. Jadi, saya sering bekerja lembur. Dan ini artinya, saya kekurangan waktu untuk keluarga saya. Saya menjamin keluarga saya di bidang keuangan, tetapi sering kali saya ingin tahu apakah saya kehilangan mereka secara emosional. Kakak saya pulang kerja jam lima sore, terkadang ia pulang membawa pizza, kemudian duduk di depan televisi menonton acara yang disukai anak-anaknya walau ia tidak suka. tetapi ia tetap melakukannya karena ia suka melihat anak-anaknya tertawa. Apapun yang saya lakukan, saya tidak bisa mengatasi perasaan bahwa saya tidak akan bisa menjadi orang yang sukses, bahagia atau puas seperti kakak saya. Betapapun kerasnya saya berusaha, saya tidak akan pernah cukup.
Love Yourself!
Supriyatno
Counselor,Trauma Therapist, Freelance Writer, Founder of Peduli Trauma
http://www.wix.com/supriyatno/personalsite
http://www.facebook.com/groups/pedulitrauma/
E-mail: pedulitrauma@gmail.com